Tidak Ada Cinta Sejati Buat Cowok Playboy?

Kenyataan bahwa jumlah cewek lebih banyak daripada jumlah cowok, seharusnya merupakan berkah yang disyukuri. Karena sebagai cowok, kita berpeluang mendapatkan cewek yangsesuai pilihan. Tapi bagaimana dari kacamata seorang playboy? Tentu persepsinya udah berbeda lagi. Maaf, saya lagi nggak menceritakan diri sendiri hehehe…

foto: georgechristensen.com.au
foto: georgechristensen.com.au

Jumlah cewek yang lebih banyak dimaknai oleh cowok hidung belang sebagai wahana kesenangan. Yup, kesenangan ‘coba sana, coba sini’. Nggak heran, perilaku yang sering disebut ‘mata itil*n’ ini mengesampingkan urusan emosi dalam menggaet cewek. Tapi, herannya mereka memiliki bakat yg lihai dalam menggaet korban. Berbeda sama cowok biasa-biasa aja seperti saya yang cenderung pasif.

Saya punya teman, yang hampir saban minggu menggandeng dua cewek yang berbeda. Besok Mirna, dua hari lagi bisa Tuti, Ajeng, Meri, begitu seterusnya. Awalnya sih cuma hobi ‘koleksi’, tapi lama-kelamaan, ‘setan’ lebih berperan. Dia pengen lebih dari sekedar jalan-jalan, telpon-telponan, atau nonton. Urusan ‘tukeran keringat’ sepertinya udah jadi prioritas pertama dalam beraksi. Makanya, kesamaan dari setiap cewek yg digaet adalah kulit putih, rambut sebahu, tinggi, pantat dan dada mencuat, dan tentunya parasnya cantik. Menurutnya, cewek seperti ini lebih asyik buat eksperimen. Herannya, doi menilai mereka lebih gampang dikasih umpan. Beda dengan cewek-cewek bertampang  biasa-biasa aja.

Jika dia menceritakan cerita-cerita joroknya tentang petualangan-petualangannya dari satu cewek ke cewek lain, nggak jauh beda seperti menonton film porno. Berbagai arena bercinta sudah pernah dicoba: kolam renang, taman yang sepi, bioskop, kamar tidur, rumah sakit, sampai lorong gelap kayak lagu Koes Plus. Kalo aja semua saya tulis, kemungkinan saya bisa menghasilkan banyak novel porno sejenis Fredy S dan Annie Arrow.

Nah, petualangan-petualangan itu tampaknya membuat dia lupa, ke mana hubungan iseng-iseng itu semestinya berasas. Baru setelah beberapa tahun kemudian, setelah menginjak usia 30 tahun; mendapat desakan bahkan tekanan untuk segera menikah dari orang tua; dan juga udah bosen sama ‘begituan’, barulah dia sadar cinta sejati itu sulit didapatkan.

Ah, yang bener? Bukannya dengan tampang yang memungkinkan dia jadi model bungkus Abon Cap Ratu ini, bisa gampang dapat cinta sejati. “Gampang memang, tapi buat yg benar-benar tepat itu susah banget,” ungkapnya belum lama ini.

Menurutnya, cewek-cewek yang udah jadi standar bakunya buat ‘dimangsa’, ternyata bukan cewek yang tepat buat dijadikan istri. “Buat having fun bisa, tapi kalo jadi istri yang baik, gue rasa mereka nggak bisa,” sambung doi yg kini memang tampak tua dan gendut. Upsss! Sementara buat cari cewek ‘biasa’, dia udah kepalang malu buat meminangnya. “Gue nggak biasa rayu cewek-cewek standar.” Nah lho? Sebenarnya mau apa sih lo, Nyet?

Kayaknya cerita tentang kesulitan dia saya habisin sampe di sini dulu dah. Daripada nanti saya disambit pake ban mobil sama tuh orang. Tapi, dari pengalaman dan ‘keberuntungan’ dia selama ini, saya bisa mengambil sedikit pelajaran (cuma sedikit lho…). Salah satunya, untuk urusan cinta, tampang itu nggak penting yang penting kepribadian.

Saya pernah punya pengalaman di waktu sekolah dulu, suka sama cewek yang bener-bener memenuhi standar saya : simple, asyik buat diajak ngobrol, sederhana (eh, ini mah sama artinya dgn simple kan?), gila bercanda, dan bukan make-up freak. Sayangnya, dia jadi bahan olokan sama teman-teman sepermainan saya.

She’s such a nerd, begitu temen2 saya bilang. Payahnya, gara-gara olokan itu, saya memilih nggak jadi mendekatinya. Daripada ikutan diolok-olok sama temen2 saya, begitu pikir saya. Kebodohan saya ini tentu bukan tanpa konsekuensi, saya jadi merasa nggak nyaman ada di sekolah. Maklum, rasanya tersiksa banget kalo belum nyatakan perasaan saya ke dia. Cihiiy!

Apalagi dia selalu melintas di depan saya dengan segala pesonanya. Penyiksaan ini toh akhirnya terus tertahan hingga saya akhirnya lulus sekolah. Bisa dibilang ini adalah kasih tak sampai, karena yang saya denger sekarang dia udah merit, punya 2 anak dan tinggal di Bangkok sama suaminya.

Jadi, semestinya harus disadari saya nggak lebih baik dari temen saya yang playboy itu, meski dalam bentuk yang berbeda. Cuma gara-gara takut diolok sama temen, saya akhirnya membohongi perasaan saya. Lumayan tersiksa banget lho, ibarat nahan lapar selama 2 tahun.

Memang sih pada masa itu akhirnya saya bisa pacarin cewek yang secara tampang bisa dibilang oke banget. Tapi yang ada di otak saya, ya tetap si cewek yg dianggap nerd itu. Istilahnya, saya tetap nggak happy meskipun dapet cewek yang secara fisik lebih cantik dari dia. Kondisi ini mungkin sama dengan kondisi si playboy itu yang kewalahan mencari cinta sejati.

Saya rasa, sebenarnya temen saya itu punya perasaan sama seorang cewek (dalam arti benar-benar cinta). Sayangnya, karena selalu asyik sama standarnya sendiri yang nggak nyata, maka jadilah dia tersiksa dengan gengsinya sebagai cowok keren yang kerap gandeng cewek-cewek aduhai. Kegemilangannya menggaet cewek memang patut diacungi jempol, tapi untuk urusan mendapat cinta sejati, tampaknya doi mesti belajar banyak dari saya. Prettt!

Saya memang sekarang bisa dibilang jomblo yg kronis—temen saya yang gila The Cure pasti menertawakan kondisi frutasi saya ini—tapi ini bukan berarti saya sok pilih dan merasa sok nyaman dengan jadi single fighter. Berdua tetap lebih baik daripada sendirian kan? Tapi kalo untuk urusan mendapat cinta sejat, memang harus diakui saya jarang banget salah sasaran, meski ujung-ujungnya putus. Eh, ini cinta sejati bukan ya?

Makanya saya nggak terlalu ambil pusing kalo tiba-tiba diputusin sepihak. Bukan karena saya memanfaatkan kondisi jumlah cewek yang lebih banyak dari cowok itu, tapi saya merasa kalo memang nggak sejalan dan jodoh ngapain ngotot? Ya, biarkan saja dia pergi, toh cinta sejati pasti datang sendiri. Kok saya jadi sok filosofis gini ye? Duh, pasti gara2 makan donat seribuan nih!

Maksud saya, kalo kita berpikir terbuka dan mengaku selalu mengejar apa yg namanya cinta sejati, kita pasti nggak jadi limbung jika diputusin pasangan. Biarin aja, toh cinta sejati itu kan membutuhkan kesepakatan dua kepala hati dan kelamin yang berbeda. Nggak fair kalo kita maksa-maksa biar jangan diputusin, sementara pasangan tetap ngotot banget minta putus. Kalo pun tetap jalan, pasti hubungan ini udah bukan cinta sejati, tetapi menciptakan ‘neraka’ sendiri. Ini sama aja kita sedang menyiksa pasangan kita.

Saya pernah tertegun mendapat quote dari sebuah film horor tapi lupa judul filmnya: “lelaki yang baik diciptakan untuk perempuan yang baik juga”. Aneh kan film horor punya dialog seromantis ini?  Tapi kayaknya hal ini yang mendorong saya untuk terus jadi cowok baik-baik yang lengkap dengan kebrengsekannya, eh kekurangannya. Supaya apa? Ya…dapet cewek baek-baek lah. Masa dapet cewek kriminil sih?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *