Jujur saya memposting blog ini karena udah nggak tahan rasanya pengen mengeluarkan unek-unek yang mengendap cukup lama di kepala. Jadi begini ceritanya:
Bahasa Inggris memang bahasa standar pergaulan internasional. Saya setuju dengan pendapat ini. Tapi, harap dicatat: bahasa ini bukanlah bahasa ibu di Indonesia. Jadi, saya terkadang suka risih dengan orang yang berbicara menggunakan bahasa asing ini yang ‘bukan pada tempatnya’.
Contohnya, beberapa waktu lalu, tempatnya pertengahan Ramadhan, malam sekitar jam 9-an, seorang cewek ngomel-ngomel dengan pegawai mal Pasific Place dengan Bahasa Inggris. Sepenglihatan saya, dari fisiknya dia terlihat ‘sangat melayu’ cuma dibalut dandanan ala sosialita ibukota. Dari omelan yang saya tangkap, dia merasa kesal karena dia mengantri taksi di antrian yang telah disediakan tapi belum dapat-dapat.
Sementara pegawai yang berjaga di tempat antrian taksi itu tampak kelimpungan. Sepertinya dia bingung harus menjawab apa, karena memang kelihatan tidak bisa berbahasa Ingggris. Dari ekspresinya, dia hanya mengangguk-angguk. Dengan muka pegawai yang penuh kebingungan tadi, seharusnya si cewek itu memaklumi kondisinya dengan tidak terus memaki dalam bahasa asing. Parahnya lagi, dia berbicara dengan temannya yang berusaha memenangkan amarahnya dengan Bahasa Indonesia, “tunggu sebentar”. Parah banget kan?
Saya sungguh gagal paham. Ketika dia mau ngomong dengan Bahasa Indonesia sama temannya, justru tidak mau ‘bermurah hati’ dengan mengomel dalam bahasa yang sama, bukan bahasa asing yang membuat pegawai itu kelihatan bodoh, lemah, dan tertindas. Dia sepertinya bangga sudah membuat wong cilik seperti mas-mas itu menciut wajah dan badannya. Dasar mental inlander kali ya?
Feeling saya secara positif mengira cewek itu adalah anak kursus Bahasa Inggris yang sedang mempraktikan ilmunya di hadapan temannya yang kemungkinan adalah guru kursusnya. Selain itu, bisa jadi dia berusaha mencari perhatian ke cowok-cowok bule yang ada di sekitar lokasi. Kebetulan, dari fisiknya, dia memang masuk dalam kategori ‘selera bule’: badan kurus kerempeng, kulit hitam seperti anak yang rajin main layangan, dan muka dalam kategori ‘ya begitulah’. Cuma kemungkunan dua cowok bule yang ada di dekatnya itu adalah pasangan gay yang tidak menoleh sedikitpun ke arahnya.
Lucunya lagi, ketika datang sebuah taksi dan menjemput saya, si cewek tadi kembali ngomel. Dia mengganggap pegawai antrian itu membiarkan saya menyelak antrian. Lho, pergaulan sok internasional tapi hari gini nggak tau yang namanya aplikasi Grab Taxi atau Bluebird? Hellowwww….
Nah, ada lagi nih kasus paling menyebalkan penggunaan Bahasa Inggris yang bukan pada tempatnya. Sekitar Januari lalu, saya ada meeting dengan sebuah event organizer. Ketika meeting berlangsung, ada salah satu peserta yang selalu merespon jawaban dan membuat pertanyaan dalam Bahasa Inggris. Sekalipun pertanyaan itu menggunakan Bahasa Indonesia, dia justru menjawabnya dengan bahasa asing. Kan nyebelin si penanya, bukan?
Selain itu, ketika handphone-nya berdering, dia justru menjawabnya dengan Bahasa Indonesia, “Sebentar ya, aku lagi meeting.” Jadi, bisa disimpulkan dia menggunakan bahasa asing ketika meeting hanya ingin membuat kesan pintar. Padahal, dalam urusan penyelenggaraan sebuah event, pintar itu bukanlah ketika berada di meja perundingan, tetapi bagaimana eksekusinya.
Yang paling gokil, saya pernah di dalam suatu lift gedung perkantoran dengan ada 2 orang cewek yang asyik ngobrol dengan Bahasa Inggris. Keduanya terlihat seru mendiskusikan sebuah serial TV (sinetron) dan gosip-gosip artis.
Begitu pintu lift terbuka, mereka keluar sambil tetap cas-cis-cus dengan bahasa itu. Tapi tiba-tiba saja, pintu lift tertutup dan menjepit salah satunya. Kamu tahu makian apa yang diucapkan salah satu cewek itu? “Aduh! Sialan”, sambil menggebrak pintu lift. Melihat adegan konyol itu, saya langsung saja tertawa terbahak-bahak. Ngapain ditahan-tahan? Epik banget soalnya adegan konyol itu hahahaha….
Kenapa sih orang Indonesia harus berbangga-bangga menggunakan Bahasa Inggris bukan pada tempatnya? Memang sih, selama ini kita dikesankan bahwa orang yang bisa menggunakan Bahasa Inggris itu lebih pintar daripada mereka yang tidak.
Stereotip ini mirip dengan anggapan jika orang jago matematika sudah dipastikan jago dalam semua hal. Jadi nggak mengherankan jika banyak orang yang membangun pencitraan dengan menggunakan Bahasa Inggris, entah itu dicampur-campur seperti Cinta Laura atau secara seperti aristokrat Inggris ala Ratu Elizabeth.
Di media sosial, pencitraan itu juga berlangsung. Ironisnya Indonesia sebagai negara yang paling aktif berkicau di Twitter, justru tidak menempatkan bahasanya sebagai bahasa yang populer. Bahasa kita malah kalah dengan Bahasa Malaysia yang berada di peringkat ke-4 setelah Spanyol, Jepang, dan Inggris. Hal ini dikarenakan banyaknya pengguna Twitter yang berkicau dengan menggunakan Bahasa Inggris, terutama dari kalangan selebriti (sumber).
Maaf, saya tidak berpendapat bahwa penggunaan Bahasa Inggris itu jelek. Saya justru sangat ingin fasih menggunakan bahasa ini, karena sadar bangsa yang besar itu harus mencintai bahasa ibunya dan menguasai bahasa bangsa lain. Tapi, sebisa mungkinlah penggunannya melihat situasi dan kondisi. Kalo nggak, siap-siap aja dicap kampungan, sombong, dan belagu. Lagipula gembel di Amerika Serikat pun juga fasih berbahasa Inggris, bukan? Jadi apa bagusnya bahasa ini daripada bahasa negara kita?
yaa saya sangat setuju dengan pendapat ini, karena bagaimana pun kita mengusai bahasa asing tetap saja bahwa bahasa indonesia itu adalah bahasa ibu dan bahasa bangsa kita yang tetap harus dilestarikan. kita juga sebagai bangsa indonesia harus dapat memposisikan dimana kita berada. terimakasih kakak.
haaaaa tulisannya kren min
bahasa andalan adalah bahasa ibu
tapi kata orang, bahasa andalah jendela dunia
haa