Gerbang ke Dunia Jurnalistik itu Bernama Lampu Merah

“Apa? Elo serius pengen ngelamar ke Lampu Merah?” Abang saya seolah nggak percaya kalo saya benar-benar pengen bekerja di salah satu koran yang paling fenomenal itu. Dia nggak sadar kalo sebenarnya pekerjaan ini jadi pintu gerbang petualangan yang menyenangkan dan paling berpengaruh di karir jurnalistik saya.

Penampakan koran Lampu Merah sebelum jadi Lampu Hijau (foto: malesbanget.com)
Penampakan koran Lampu Merah sebelum jadi Lampu Hijau (foto: malesbanget.com)

Lampu Merah memang bukanlah media yang prestius seperti surat kabar nasional pada umumnya. Koran harian ini lebih banyak menjajakan berita kriminal dan seks yang ditulis dalam bahasa yang nyeleneh, bahkan dianggap melenceng dari kode etik jurnalistik. Malah ada pameo yang menyebutkan jika koran ini diperas maka akan keluar sperma dan darah, karena saking sadis dan vulgar dalam menyajikan berita.

Saya sendiri sebenarnya terbilang putus asa, karena sudah berkali-kali melamar ke berbagai media hampir nggak ada panggilan. Maklum aja, pada masa itu, sekitar tahun 2002-2004 bisa dibilang masa krisis multi dimensi pasca reformasi. Banyak perusahaan-perusahaan yang baru bangkit dan krisis moneter setelah kejatuhan Soeharto dari kursi presiden. Jadi lowongan pekerjaan adalah hal yang langka banget.

Memang sih saat itu media sedang banyak-banyaknya bermunculan karena ditiadakannya SIUP untuk membuat media sebagai efek reformasi dan keterbukaan informasi. Hanya saja, dari media yang sekian banyak itu, satu per satu berjatuhan karena tidak mampu menutup biaya operasional. Yang bertahan pastinya cuma media-media dalam group besar, termasuk Lampu Merah yang terafiliasi dengan Jawa Pos Group.

Lampu Merah memang bisa dibilang lagi top banget dan jadi pesaing bagi Pos Kota yang lebih dulu senior. Hampir semua rumah pasti berlangganan koran ini. Maklum, dengan gaya bahasa gaul yang nyeleneh, tampaknya koran ini berhasil memicu minat baca kalangan menengah bawah. Apalagi berita-beritanya juga tergolong sensasional dan vulgar, jadi membuat orang penasaran begitu menyimak headline-nya yang judulnya panjang-panjang.

Sebagai keluarga yang nggak mau ketinggalan informasi, di rumah saya memang berlangganan banyak media, mulai dari koran Pos Kota, Kompas, tabloid Nova, majalah Bobo, dan Hai selalu menenuhi rak di kolong meja ruang tamu. Lampu Merah sendiri tergolong media yang dibeli seperlunya aja, kalo ada headline yang menarik dan lucu, baru dibeli. Kalo nggak, ya dilewatkan aja.

Kenapa saya bisa memilih untuk bekerja di Lampu Merah? Itupun karena ketidaksengajaan. Di saat saya tertawa ngakak dengan adanya pemberitaan tentang artis porno yang silikon payudaranya meledak, pada bagian bawah halaman belakangnya terpampang kolom lowongan kerja untuk posisi reporter yang membuat mata saya terbelalak. Dibandingkan lowongan kerja untuk posisi yang sama di media lain, lowongan ini tergolong simpel. Bagian yang paling saya ingat adalah “tahan banting dan suka dengan dunia kriminal”. Aneh banget kan? Hahaha….

Karena syarat yang terbilang enteng itu, akhirnya saya putuskan buat melamar. Malam harinya, saya membeli kertas folio untuk menuliskan lamaran kerja dengan tulisan tangan. Sebenarnya bisa dibilang saya agak meremehkan keseriusan Lampu Merah sebagai media yang kredibel. Makanya, di surat lamaran kerja itu saya menulisnya hingga 4 halaman, mirip curhat. Isinya lebih banyak menceritakan kesukaan saya terhadap dunia menulis dan pengalaman saya menjadi wartawan ilegal di sekolah. Diterima syukur, nggak diterima juga nggak apa-apa, pikir saya waktu itu.

Setelah surat lamaran kerja itu saya bundel dengan CV dan berkas lainnya dan dimasukkan dalam amplop coklat besar, saya meminta abang saya buat mengantar. Maklum aja, saya belum punya kendaraan pribadi, sedangkan buat ke lokasi redaksi saya takut nyasar.  Kalo dilihat dari raut mukanya, dia sebenarnya terlihat kurang setuju adiknya yang begeng ini harus jadi wartawan, apalagi buat media sekelas Lampu Merah.

Maklum aja, dia sendiri sebenarnya lulusan S1 Jurnalistik dan kebetulan pernah magang di Rakyat Merdeka yang merupakan sister-media dari Lampu Merah. Ketika ditawari kerja sebagai wartawan tetap di Lampu Merah, dia menolaknya mentah-mentah karena dianggap nyeleneh dan jauh dari keilmuan jurnalistik yang diembannya.

“Kenapa sih mesti di Lampu Merah? Memangnya nggak ada media lain yang lebih pantas gitu? Gue aja ditawarin kerja di sana gue tolak,” ujar abang saya ketika membonceng saya dengan motornya buat menuju ke Graha Pena, tempat redaksi Lampu Merah berada.

“Ya abisnya gimana? Media belum ada yang buka lowongan kerja. Tau sendiri jaman sekarang susahnya kerja di media kayak apa?”

“Ya, tapi jangan di Lampu Merah lah. Nggak bagus buat porfolio elo. Nanti lo dipandang rendah saya media lain,” tandasnya mengingatkan saya.

Sebenarnya, saya sedikit setuju dengan anggapan bahwa Lampu Merah bukanlah media yang bagus buat memulai karir sebagai wartawan. Tapi, mau bagaimana lagi? Saya butuh portofolio sebagai wartawan, sesuai dengan apa yang saya cita-citakan, tanpa peduli medianya seperti apa. Ini pun sebenarnya saya anggap gambling aja, nggak terlalu banyak berharap buat menang.

Graha Pena yang sekarang disewakan jadi ruang perkantoran (foto: APS Property)
Graha Pena yang sekarang disewakan jadi ruang perkantoran (foto: APS Property)

Sesampainya di Graha Pena, saya sedikit terperangah. Saya nggak nyangka media sekelas Lampu Merah ternyata memiliki gedung kantor yang terbilang megah. Sebelumnya saya membayangkan kalo kantor redaksi media ini  kayak kapal pecah, karena konsep redaksionalnya yang seperti dibuat asal-asalan. Sayangnya saya nggak bisa menuju ke lantai 8 tempat redaksi Lampu Merah berada, karena di depan lift dari ruang parkir motor ada satpam yang berjaga dan melarang saya untuk naik ke atas.

“Saya titip ini ya, Pak. Tolong sampaikan ke redaksinya,” pinta saya dengan harap-harap cemas yang cuma dibalas dengan anggukan seadanya. Ada sedikit keraguan kalo satpam itu akan benar-benar bakal memberikan surat lamaran kerja itu ke redaksi Lampu Merah. Tapi saya berusaha berpikiran positif sambil bertawakal aja dalam hati. Kalo rejeki toh nggak ke mana kan?

Saya lupa kapan tepatnya saya menaruh surat lamaran kerja itu. Yang pasti hari itu merupakan hari bersejarah bagi saya dalam mengawali karir di dunia jurnalistik. Setelah hari itu, pandangan jelek saya tentang Lampu Merah langsung sirna dan saya mengalami banyak hal-hal ajaib bersamanya. Di hari itu pula, kehidupan saya siap berubah…

3 Replies to “Gerbang ke Dunia Jurnalistik itu Bernama Lampu Merah”

  1. Salam bang chawir, perkenalan saya kurniawan, jujur saat ini saya sedang mencari informasi mengenai koran lampu merah dan sejenisnya dan muncul website Abang yg pernah memiliki pengalaman disana, boleh lah saya bertanya apakah koran lampu merah tersebut saat ini masih aktif, dan apakah saya bisa melakukan riset atau wawancara untuk keperluan tugas web saya, mohon bantuannya, dan terimakasih.

    1. Hallo Kurniawan,
      Maaf baru balas. Baru aktif di blog lagi setelah sempat menghilang domainnya. Saat ini Koran Lampu merah jadi Lampu Hijau. Apakah tugasnya sudah kelar?

Leave a Reply to Berita Makanan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *