Di tengah panasnya suhu politik di Indonesia, terutama di Jakarta dengan Pilkada-nya yang diwarnai kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur non-aktif Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, kehadiran liga piala AFF seolah menjadi penyejuk tersendiri.

Ya, timeline social media seperti Facebook dan Twitter yang sebelumnya ramai diwarnai debat kusir berbau politik dan agama, tiba-tiba menjadi lebih tenteram. Setidaknya, sejak Indonesia dijadwalkan bertanding melawan Vietnan pekan lalu, hampir tidak ada postingan yang berisi ujaran kebencian, hoax, dan fitnah. Mereka yang pro dan kontra sama Ahok tiba-tiba terlihat kompak mendukung Indonesia.
Jika biasanya yang kontra sama Ahok begitu vokal menyuarakan tentang haramnya memilih pemimpin non-muslim, tiba-tiba justru seolah tidak mempermasalahkan agama yang dipeluk pemimpin Timnas Indonesia. Ya, Boaz Solossa adalah pesepakbola asal Papua yang kebetulan adalah seorang non-muslim.
Saya sendiri cukup heran, padahal jika melihat apa yang didalilkan pada ayat Al-Maidah 51, terutama pada pemilihan kata “awliya” yang diyakini sebagian besar mereka terjemahannya adalah pemimpin, harusnya ada ajakan buat menggulingkan Boaz dari posisinya sebagai kapten. Nyatanya, isu seperti ini tidak terjadi di sepakbola.
Itulah sebabnya saya merasa sepertinya di Indonesia harus sering diadakan pertandingan sepakbola liga internasional yang melibatkan negara ini. Bukan apa-apa, soalnya saya merasa timeline social media begitu sejuk setiap ada pertandingan sekaliber ini. Ke-Indonesia-an banyak orang begitu nyata, tidak tersekat oleh agama.
Herannya, ketika euforia kemenangan Indonesia 2-1 atas Thailand semalam berangsur surut, timeline kembali seperti semula: memanas. Semua orang seperti berperang menyuarakan pendapatnya. Bisa ditebak, lagi-lagi persoalan agama yang dimajukan. Bahkan, seperti tahun-tahun sebelumnya, timeline juga mulai dihiasi himbauan larangan bagi umat muslim untuk mengucapkan Selamat Hari Natal.
Sebagai negara yang masyarakatnya over-religus, menurut saya cuma olahraga, khususnya sepakbola yang terbebas dari segala bentuk doktrin agama. Padahal, hampir semua hal di negeri ini selalu dipaksa untuk disangkut-pautkan dengan agama.
Inilah yang membuat saya heran, kenapa agama tidak bisa sebundar bola: tidak bertepi, semua berdiri sama tinggi meskipun berada di poros yang berbeda? Agama saat ini justru dipandang mengotak-kotakan manusia yang akhirnya memberi sekat pada urusan politik, sosial, dan pergaulan.
Sungguh sangat disayangkan sekali. Ajaran dalam agama seharusnya menjadi solusi atas semua permasalahan kehidupan, termasuk perselisihan dan perbedaan, justru menjadi pemicu perpecahan. Jangankan untuk yang berbeda agama, komunitas dalam agama yang sama juga diributkan dengan permasalahan pandangan dalil yang berbeda.
Mungkin sedikit berlebihan jika saya memandang Indonesia akan seperti Suriah jika konflik berbau agama terus dibiarkan membara dengan panasnya. Tapi apa mau dikata, dari pengamatan pribadi, saat ini sedang terjadi gerakan unfriend massal di Facebook cuma karena pandangan politiknya berbeda karena dalil agama. Jika ini terus dibiarkan, sangat mungkin permusuhan ini akan terjadi di dunia nyata mengubah kekerasan verbal menjadi kekerasan fisik.
Jadi, menurut saya, sebagai orang Indonesia kita harus rajin-rajin berolahraga selain beribadah, terutama di tengah urusan politik yang membuat jiwa menjadi sengit. Bagaimanapun juga, tidak cuma sepakbola saja, olahraga apapun akan menghasilkan hormon endorfin yang mampu mengeliminasi stres, membuat kita lebih berbahagia, dan berpikiran jernih dalam mengambil keputusan, termasuk keputusan untuk memposting sesuatu yang sifatnya provokatif.
Ketika agama menjadi garda terdepan dalam kesehatan rohani, maka olahraga adalah garda terdepan dalam kesehatan fisik dan mental. Ini adalah perpaduan yang saya yakini bisa membuat orang Indonesia lebih sehat mental dan fisiknya. Dengan kesehatan lahir batin seperti ini, saya rasa Indonesia akan benar-benar siap dalam menerima perbedaan, termasuk perbedaan agama.
Entahlah, mungkin tulisan saya ini bukan solusi atas segala problema mengenai perbedaan yang ada di Indonesia. Tapi, setidaknya dengan sibuk berolahraga, kita akan melupakan sejenak ‘urusan’ agama dengan mengurusi agama orang lain. Karena saya mulai menyakini ucapan Karl Marx yang menyebut agama adalah candu. Sayangnya, candu ini hanya memabukkan mereka yang mengkonsumsinya dengan jumlah sedikit. Sementara mereka yang telah mengkonsumsinya dalam jumlah besar alias berilmu, cenderung lebih teduh dan tidak angkuh.