Guru Ngaji Kok Gitu?

Penggunaan foto hanyalah ilustrasi belaka, nggak bermaksud menyudutkan pihak tertentu (foto: Azizazmagz)

Sedari kecil, orang tua di rumah membeli saya dengan pendidikan agama yang terbilang memadai. Nggak heran, sejak di bangku SD saya dimasukkan ke pengajian-pengajian buat mendalami Al-Quran. Tapi dari sekian guru ngaji, ada yang pernah membuat saya kecewa hingga sekarang.

Ceritanya, adik saya yang cuma beda 2 tahun dari usia saya, dibelikan seekor ayam berbulu putih. Katanya sih ayam itu ayam jenis ras Bali yang tidurnya suka di atas pohon. Ayam ini terbilang langka, malah sekarang katanya nyaris punah.

Suatu hari, ayam kesayangan adik saya ini tiba-tiba hilang. Ketika dicari-cari keliling kampung, ternyata ayamnya sedang dielus-elus Tono (sebut saja namanya begitu). Nggak terima kalo ayamnya dimiliki orang lain, tentu aja adik saya minta dibalikkan. Rupanya, Tono ngotot kalo ini adalah ayamnya.

Sambil nangis, adik saya pulang ke rumah mengadukan hal itu kepada bokap. Dengan sedikit emosi, bokap akhirnya datang ke rumah si Tono dan meminta ayam itu dikembalikan. Bukannya mengembalikan, dia malah tetap ngotot bilang kalo ini adalah ayamnya.

Nggak disangka-sangka, tiba-tiba neneknya Tono keluar dari rumah. Harusnya sih ini bakalan jadi sesuatu yang menggembirakan, tapi kenyataan berkata lain. Bukannya memarahi cucunya yang mencuri ayam, dia malah membela dan bilang baru aja membeli ayam itu di pasar. Padahal, dari ciri-cirinya sudah jelas kalo ayam itu bukan punya cucunya.

“Cucu gue bukan maling ayam!” hardiknya dengan nada tinggi.

Melihat perdebatan antara bokap dan nenek Tono itu, saya cuma bisa melongo. Saya hampir nggak percaya, kalo nenek-nenek yang merupakan guru ngaji saya itu ternyata berbohong dan membekingi pencurian yang dilakukan cucunya. Sungguh, kejadian itu membuat saya patah hati dan kecewa.

Karena nggak mau memperpanjang urusan dan ribut-ribut nggak jelas, akhirnya bokap memilih untuk mengalah. Dia pulang dengan wajah penuh kesal, sementara saya mengikutinya dari belakang. Sesampainya di rumah dia memegang tangan adik saya dan berbisik, “Besok kita cari guru ngaji yang baru aja. Kalo perlu, biar bapak yang ngajar ngaji.”

Saya nggak habis pikir, kenapa nenek Tono yang notabene seorang guru ngaji yang cukup terpandang justru melindungi kejahatan cucunya. Malah saya berharap apa yang terjadi sore itu adalah mimpi dari tidur siang saya. Soalnya, dia adalah sosok yang paling saya hormati, setidaknya ketika dia mengajar ngaji.

Saya memang sangat menyesalkan kenapa kejadian itu bisa sampai terjadi dan seperti meninggalkan trauma tersendiri. Tapi saya tetap bisa bersyukur setidaknya diberikan petunjuk bahwa tidak semua mereka yang kelihatan beragama tindakannya sesuai ajaran agama, sekalipun dia adalah seorang guru agama.

Alhamdulillah, berkat pengalaman buruk itu, akhirnya saya menemukan beberapa guru mengaji yang hebat, yang nggak punya tinggi dari sisi keilmuan tetapi juga berperilaku dengan penuh kesalehan. Kalo nggak, mungkin aja saya dibohongi orang-orang yang berperilaku agamis tapi ternyata nggak sadar justru disesatkan. Apalagi saat ini lagi ngetren banget kan, sosok-sosok yang mengaku ustadz atau ulama, justru melakukan penistaan agama. Ya, sebut aja Kanjeng Dimas dan Gatot Brajamusti yang kasus kejahatannya belakangan ini mewarnai headline media.

Dari pengalaman saya di atas, bagaimanapun juga agama adalah hal yang pribadi. Penerapannya kadang nggak bisa dilihat secara kasat mata, apalagi dari simbol, gelar, dan penampilan.  Tapi ada hal yang membuat saya ngeri hingga sekarang: ketika mereka yang belajar agama aja bisa melakukan kejahatan, apalagi yang enggan mempelajarinya?

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *