Guru vs Pengalaman: Mana yang Paling Mendidik?

bad-teacher

Semua mungkin pada tahu jika guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mulia banget memang kedengerannya. Bayangkan saja, dianggap pahlawan saja susah banget, apalagi jika dianggap pahlawan tapi tanpa tanda jasa. Ini ibaratnya pacaran sama kembang desa yang bokapnya galak, susah menaklukan hatinya sampai dipuji banyak orang tapi tetap aja gak diakui sama pihak keluarganya. Bikin galau kan? Kalo guru dianggap pahlawan tanpa tanda jasa, apa kabarnya pengalaman? Kan pengalaman dianggap guru terbaik. Eh tapi kasihan juga sih si pengalaman ini, terkadang orang nggak mau belajar sama dia, boro-boro dijadikan guru deh.

Harus diakui, namanya pengalaman memang guru terbaik. Terkadang hukuman dari pengalaman ini ketika memberikan pelajaran lebih sadis dari guru matematika tergalak sekalipun. Ketika guru paling sadis itu memukul pantat muridnya dengan penggarisan atau menjemurnya di lapangan sekolah, pengalaman memberikan hukuman paling sadis: kenyataan.

Kenyataan ini memang paling sulit diterima manusia. Kenyataan bahwa ternyata Dian Sastro telah punya suami dan anak, kenyataan bahwa ada pejabat dari departemen agama yang maha suci malah tersangkut kasus korupsi, dan kenyataan bahwa kita hidup beberapa dekade dari uang luar negeri, apakah sudah kita terima? Pahit banget kan kenyataannyaaaaaa…

Dalam memberikan pelajaran, si pengalaman ini terkadang memberikan luka yang cukup dalam sebagai hukuman yang kelak tidak akan diulangi lagi. Contohnya, teman saya yang pernah bermain api selingkuh dengan istri orang pada akhirnya menerima kenyataan pahit ketika tertangkap basah sang suami selingkuhannya.

Bukan cuma bogeman mentah di perut dan muka, dia juga mendapatkan surat pemberhentian kerja setelah perselingkuhannya itu diadukan ke perusahaan tempatnya bekerja. Bakal keterlaluan banget sih kalo temen saya bakal menyelingkuhi istri orang lagi setelah mendapatkan pelajaran menyakitkan dari si guru terhebat itu.

Sebuah pengalaman juga telah mengajarkan saya supaya tidak menerobos rumah orang sembarangan. Di usia 8 tahun, saya pernah tergoda ingin menggenjot sepeda mungil yang selalu tergeletak di halaman rumah mewah di dekat rumah saudara saya di Tomang. Melihat kondisi rumah yang sepi, saya nekat memanjat pagar yang tinggi dan berusaha mencoba sepeda itu. Jujur ini sekedar ingin menggenjot sepeda ya, bukan ingin benar-benar memilikinya atau mencuri.

Apesnya, baru dua genjotan pedal, entah dari mana datangnya tiba-tiba ada seekor anjing herder berukuran lebih tinggi dari tubuh saya menggonggong dan langsung menyergap saya. Melihat binatang bertampang sangar itu saya cuma bisa menangis ketakutan. Nyaris saja saya digigit anjing itu kalo ibu penjaga rumah itu tidak segera datang dan menenangkan anjing yang berbulu hitam itu.

Pelajaran untuk tidak menerobos rumah orang memang pernah diajarkan oleh guru agama saya, bahkan juga orangtua saya juga sering mengingatkan supaya saya harus mengucapkan salam ketika ingin masuk ke rumah orang. Nyatanya, justru pelajaran yang diberikan pengalaman yang membuat saya hingga sekarang enggan masuk ke rumah orang secara sembarangan.

Lalu, sebenarnya siapa sih yang bisa memberikan pelajaran terbaik; guru atau pengalaman? Saya berani bilang keduanya adalah yang terbaik. Tapi, keduanya harus berkolaborasi. Ya, seorang guru bukan cuma memberikan ilmu berdasarkan teori, tetapi juga harus memberikan pengalaman secara langsung kepada muridnya mengenai keilmuan yang sedang diajarkan.

Jujur saja, ketika duduk di bangku SMP, saya tidak pernah tahu wujud dari bakteri sesungguhnya sekalipun ada buku biologi yang memuat gambar penampakannya. Padahal, di laboratorium sekolah terdapat banyak mikroskop yang bisa digunakan untuk melihat bakteri secara nyata.

Kebanyakan buku-buku pelajaran yang sama baca juga kurang memberikan saya ilmu (terutama di bangku kuliah). Apa yang saya dapatkan dari pengalaman selama bekerja lebih dari sepuluh tahun di industri media, justru lebih mendukung keilmuan dan intelektualitas saya. Ibaratnya, buku-buku pelajaran itu hanya membuat saya ‘sekedar tahu’, berbeda dengan pengalaman yang membuatnya menjadi ‘lebih banyak tahu’.

Jadi, sebagai sesama pemberi pelajaran, sosok guru seharusnya mampu memberikan pengalaman nyata kepada muridnya. Apesnya, kebanyakan acara seperti study tour yang ada di sekolah-sekolah justru lebih mengedapkan unsur tour dibandingkan study-nya. Jadi, kesan yang didapatkan para murid cuma jalan-jalannya saja, sementara ilmunya langsung menguap begitu perjalanan pulang sedang berlangsung.

Memang PR besar banget sih buat dunia pendidikan kita mengenai keterlibatan si pengalaman dalam dunia pengajaran. Tapi saya optimis, arah dunia pendidikan di Tanah Air semakin baik dengan kebijakan-kebijakan pemerintah sekarang ini. Jadi semoga saja kolaborasi guru dan pengalaman semakin ternasionalisasi.

One Reply to “Guru vs Pengalaman: Mana yang Paling Mendidik?”

  1. Pengalaman adalah guru terbaik. Jd tugasnya pengajar bagaimana membrikan pengalaman kpd murid supya jngan hanya menyampaikan teori,..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *