Tuna Netra Goes Open Source!

Mendapatkan akses informasi merupakan salah satu hak asasi manusia, tidak terkecuali bagi kalangan tuna netra. Di tengah arus informasi yang terhimpun di internet, mereka pun tetap bisa berpartisipasi, baik sebagai pemberi maupun penerima informasi. Open sourcemerupakan media yang membuka kesempatan agar mereka mereka ‘melek’ komputer dan internet, seperti halnya mereka yang tidak buta.

tunanetra1

Ketika mendapatkan undangan untuk menghadiri “Workshop Open Source Tuna Netra” yang di selenggarakan Yayasan Air Putih pada akhir Juni lalu, penulis sempat bertanya-tanya: bagaimana mungkin seorang tuna netra dapat mengoperasikan open source?  Namun pertanyaan ini akhirnya terjawab ketika penulis memenuhi undangan tersebut.

Dari sekitar 40 komputer yang berjejer rapih, tampak seorang pria paruh baya sangat asyik mengoperasikan salah satu satu unitnya. Mengenakan headset, pria ini begitu fasih menjelajahi beberapa menu-menu yang tertampil di interfacesistem operasi Ubuntu yang digunakan pada komputer tersebut. Dengan mantap, dia mengarahkan mouse ke menu-menu yang ingin ditujunya.

Awalnya, penulis sempat tidak menduga bahwa pria yang bernama Subagio ini adalah seorang tuna netra. Namun, setelah berkenalan dan menyapa, akhirnya diketahui bahwa pria ini mampu mengoperasikan perangkat komputer lewat petunjuk suara yang dihantarkan ke handset yang dikenakannya.

Petunjuk suara tersebut merupakan bagian dari teknologi aplikasi layar pembaca atau screen reader yang terinstal di komputer. Teknologi ini memungkinkan tuna netra menjelajahi menu-menu dan fitur yang terdapat di sebuah sistem operasi yang digunakan komputer dengan petunjuk suara. Artinya, untuk setiap menu yang dijelajahi maka secara otomatis screen reader akan menerjemahkannya dalam bentuk suara, sehingga tuna netra dapat mengerti letak dan posisi menu.

Kesenjangan digital di kalangan tuna netra memang sedikitnya mulai teratasi dengan adanya teknologi screen reader. Sayangnya, piranti lunak untuk teknologi ini tergolong sangat mahal. Sebut saja aplikasi Jaws yang berjalan di sistem operasi Windows. Aplikasi proprietary ini dibandrol sekitar Rp 11 juta untuk lisensi 3 unit komputer.

Beruntung, sebagai sistem operasi open source, Ubuntu menyertakan aplikasi Orca yang didedikasikan untuk tuna netra. Aplikasi ini di-embeded pada jajaran menu assistantive technologies Ubuntu dan menjadi aplikasi screen reader alternatif yang tidak hanya bersifat terbuka untuk didistribusikan maupun dikustomasi, tetapi juga mudah untuk dioperasikan.

Kemudahan pengoperasian aplikasi Orca diakui Subagio, yang sebelumnya merupakan pengguna Jaws. “Aplikasi ini tergolong mudah. Namun, dari segi aksesbilitas tentunya tetap membutuhkan adaptasi. Apalagi, kebanyakan tuna netra lebih dulu terbiasa dengan Jaws,” papar pria yang berprofesi sebagai guru Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Citeureup, Cimahi, Jawa Barat ini.

Senada dengan Subagio, Machrus Muafi, selaku Program Manager Yayasan Air Putih menyebutkan Orca sebagai aplikasi screen reader yang mudah digunakan sekalipun bagi mereka yang baru berkenalan dengan komputer. Hal ini menyadur dari pengalamannya ketika menggelar workshop yang sama di Kabupaten Biak, Papua.

“Mereka yang mengikuti workshop ini, satu hari berikutnya sudah bisa mengajarkan temannya yang lain. Bahkan, satu jam mempelajari aplikasi ini, mereka sudah mampu mengetikkan namanya sendiri,”  ujarnya sumringah.

Seiring dengan IGOS

Sebagai aplikasi open source yang dapat membantu tuna netra mengoperasikan komputer, Orca tentunya harus disosialisasikan secara beriringan dengan program Indonesia Goes Open Source (IGOS) yang sedang dilakoni pemerintah. Jangan sampai pemerintah terkesan mengabaikan eksistensi tuna netra yang memiliki hak untuk menjadi lebih pintar lewat perangkat komputer dan akses internet.

Hal ini dinyatakan, Irwan Dwi Kustanto, Vice Executive Director Yayasan Mitra Netra, yang merasa pemerintah belum terlambat mensosialisikan Orca sebagai aplikasi screen reader alternatif, karena saat ini kebanyakan tuna netra hanya mengenal aplikasi Jaws sangat mahal.

Berdasarkan pengalamannya, untuk mendapatkan lisensi Jaws untuk pada 3 unit komputer, Yayasan Mitra Netra harus merogoh kocek sebesar US$ 1400 atau sekitar Rp 11 juta, sedangkan untuk manfaat yang sama diberikan Orca, pengguna sama sekali tidak dikenai biaya lisensik karena aplikasi ini berbasis open source.

“Harus diakui, Orca memiliki perbedaan dengan program Jaws. Namun, setidaknya Orca dapat dikostumasi lebih lanjut agar pengguna lebih mudah menggunakannya. Saya berharap Orca dirancang tidak hanya untuk ‘membaca’ teks saja, tetapi juga visual dan gambar,” ujar tuna netra yang mengaku masih beradaptasi dengan Orca ini.

Selanjutnya, Irwan menegaskan, pemerintah harus sebisa mungkin mensosialisasikan Orca ke beberapa SLB maupun panti tuna netra. “Jika dalam 2-3 tahun ke depan masih banyak tuna netra yang belum menggunakan screen readerberarti ini kesalahan pemerintah dan sistem pendidikan di Indonesia. Sekarang kurang apa, bukankah Orca ini gratis? Mereka tinggal sosialisasikan hal ini saja. Gampang kan?,” tandasnya.

Demam Facebook

Teknologi screen reader terbukti mampu menyurutkan kesenjangan digital bagi penyandang tuna netra. Mereka tidak hanya dengan mudah mengoperasikan komputer dan berinternet, tetapi juga sudah mulai menggemari Facebook sebagai situs jejaring sosial paling populer saat ini.

Diakui Irwan, ‘demam’ Facebook juga menjangkiti para tuna netra. Dia menghitung, saat ini anggota Yayasan Mitra Netra yang sudah memiliki akun Facebook berjumlah 20 orang. Jumlah ini tentunya belum termasuk mereka yang berada di luar keanggotaan, seperti beberapa anggota dari mailing-list komunitas tuna netra lainnya. Menurutnya, saat ini terdapat lebih dari 50 anggota terdaftar di  Facebook yang berasal dari beberapa daerah seperti Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan sebagainya.

“Mereka sangat menggemari Facebook dan aktif sekali mengajak teman-teman yang lain untuk segera membuat akun,” ungkap Irwan yang mengaku hampir tidak pernah absen dari Facebook setiap harinya.

Sebagai tuna netra, Irwan mengaku merasa beruntung dengan kehadiran teknologiscreen reader yang memungkinkan dia dan komunitas tuna netra lainnya dapat merasakan fenomena-fenomena yang terjadi di dunia maya. Sayangnya, tidak semua situs mendukung aplikasi ini, sehingga keleluasaan berinteraksi di dunia maya tidak selapang bagi mereka yang tidak buta.

“Kami berharap beberapa pengelola situs mengembangkan situsnya menjadi mudah dan dapat dikunjungi oleh tuna netra, sehingga kami mendapatkan kesempatan yang sama dalam menjelajahi dunia maya. Begitupun para pengembang piranti lunak lokal, kami tantang mereka untuk membuat Orca lebih baik lagi sehingga menjadi aplikasi alternatif yang handal,” pungkasnya.

*) tulisan ini pernah memenangkan Terbaik 3 “Lomba Menulis Open Source” yang diselenggarakan Kementerian Ristek pada 10 Agustus 2009.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *