
Teman saya, salah seorang wartawati dari sebuah media A berkeluh-kesah kepada saya. Dia merasa kesal dengan perilaku salah-satu bekas rekan kerjanya di media yang sama. Sang rekan yang sekarang ini bekerja di sebuah media B kerap kali menyepelekan amanat yang ditujukan kepada media tempat dulu dia bekerja. Misalnya saja, ketika sebuah vendor mengundang dia untuk meliput suatu even, dia tidak pernah mem-forward undangan tersebut ke teman saya. Ironisnya, ketika di-SMS, balasan yang diterima kira-kira begini: Sori ini siapa ya? Phonebook gue ilang semua.
Entah benar phonebook-nya hilang atau sengaja dihilangkan, dia seharusnya sudah faham kalau undangan itu ditujukan ke dia karena si pengundang masih menganggap dia bekerja di media A, di samping even yang dimaksud tidak ada hubungannya dengan desk dia yang baru. Jika begitu, sebaliknya dia mem-forward informasi tersebut kepada teman saya atau bekas rekan dia di media A.
Hal ini pernah saya alami tadi siang, ketika sebuah perusahaan logistik yang menganggap saya bekerja di media X mengontak saya untuk datang meliput ke hajat yang diselenggarakan besok. Nah, karena saya merasa sudah tidak bekerja di media X lagi, saya pun mem-forward undangan tersebut ke teman saya yang masih bekerja di media tersebut.
Sebaliknya, teman saya yang sudah tidak bekerja di media Y tempat saya bekerja sekarang, sering mem-forward undangan peliputan yang ditujukan ke dia kepada saya. Cara ini adalah wajar dalam dunia persilatan jurnalistik, dimana terkadang tenaga jurnalisnya sering berpindah tempat kerja. Sayangnya, tidak begitu dengan yang dilakukan oleh rekan teman saya itu.
Apakah ini upaya penjegalan terhadap akses informasi kepada teman saya? Saya rasa tidak, karena saya juga diperlakukan sama. Padahal, rekan teman saya ini pun masih terhitung teman sepermainan saya di desk peliputan yang sama. Kami terkadang nongkrong bareng, mulai dari nonton hingga karaokean. Sekarang jangan kan nongkrong bareng atau bercanda ria di YM, SMS-an atau nelp saya pun sudah tidak pernah dilakoni lagi.
Tapi entah sifat atau bawaan dia yang ‘jelek’ sehingga menganggap pertemanan hanya terjadi jika dalam lingkup kepentingan saya sama saja, sehingga begitu tidak di dalam kepentingan yang sama, pertemanan diakhiri dan siap mencari teman baru di kepentingan yang baru. Saya menyebutnya teman, tapi saya sendiri masih ragu apakah dia masih menganggap saya temannya atau saya benar-benar dihapus dari kehidupan barunya. Padahal, saya maupun teman saya tidak pernah punya permasalahan atau konflik pribadi kepada dia.
Langkah dia tentu sangat bodoh, egois, dan sombong. Bagaimana tidak? Padahal hubungan teman atau mitra kerja sebaiknya terus dibina sekalipun kepentingan sudah tidak sealiran lagi. Istilahnya, menjaga silaturahmi. Sejelek apapun rekan kita di tempat bekerja, jika dia mengenal reputasi kita, pasti sewaktu-waktu dia akan menghubungi kita jika ada suatu peluang atau proyek yang membutuhkan keahlian kita.
Hal ini pernah terjadi kepada saya ketika mengalami frustasi karena kangen dengan dunia jurnalistik. Saya yang pada saat itu bekerja di sebuah bank swasta setelah mengecap pengalaman sebagai wartawan di media C, merasa jurnalistik adalah dunia saya. Di tengah kerinduan itu, tiba-tiba rekan saya sesama veteran media tersebut, memberitahukan bahwa seorang kenalannya sedang membuat sebuah majalah TI.
Atas rekomendasi dia, saya akhirnya bekerja di media tersebut, hingga mengantarkan saya kepada pengalaman-pengalaman baru yang tak mungkin bisa saya dapatkan di dunia perbankan yang monoton dan menuntut rutinitas. Saya merasa terkesan sekali ternyata dia masih menyimpan nomer HP saya, padahal kami berdua sudah hampir setahun berpisah semenjak sama-sama hengkang dari media C.
Dari situ saya mulai merasa, bahwa teman adalah aset yang dapat menunjang masa depan. Saya tidak malu mengakui, karir saya yang berkembang ini tidak bukan karena atas informasi maupun rekomendasi-rekomendasi teman saya yang telah mengetahui reputasi saya di dunia kerja, meskipun pada awalnya saya memulai dari belum mengenal siapa-siapa.
Alhasil, beberapa proyek pun sudah saya kerjakan, seperti menulis buku, profil perusahaan, hingga tawaran menulis biografi seorang tokoh. Hal ini tidak mungkin saya peroleh jika saya tidak menjaga reputasi dan koneksi kepada orang-orang yang saya kenal, setidaknya dalam lingkup kepentingan yang seirama.
Meskipun tidak lagi dalam lingkup kerja yang sama, saya sering mengunjungi teman-teman saya yang ulang tahun, melahirkan, atau jika mereka terkena musibah. Selain motif empati, saya lakukan ini karena ingin menjaga silaturahmi. Bagaimanapun juga, sewaktu-waktu mereka akan merekomendasikan sesuatu pekerjaan yang ada kaitannya dengan reputasi saya.
Maka, berbahagialah orang yang terus menjaga hubungan baiknya dengan mantan rekan kerja. Sewaktu-waktu mereka bisa berperan sebagai ‘malaikat penyelamat’ di kala galau melanda karir maupun kehidupan pribadi. Silaturahmi nggak cuma memperpanjang umur, tapi juga membuka pintu rejeki.
*Disadur dari blog Planetmiring.com (20/1/2009)