Evaluasi Eksistensi DPD-RI: Belum Tampil ‘Garang’ di Parlemen

foto: empatpilarmpr.com
foto: empatpilarmpr.com

Hadirnya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) di jajaran parlemen Indonesia sudah tentu membawa angin segar dalam kancah perpolitikan di Tanah Air. Terutama, masyarakat yang kadung apatis dengan kinerja parlemen yang selama ini dianggap hanya kepanjangan tangan dari partai politik. Namun, apakah kinerjanya dinilai sudah sesuai harapan?

Menurut data profilnya, gagasan dasar pembentukan DPD-RI lahir dari keinginan untuk mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal yang utamanya berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.

Keinginan tersebut didasar oleh indikasi yang nyata bahwa keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan. Ketimpangan seperti ini juga memberikan indikasi ancaman terhadap keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Sedangkan, selama ini keberadaan unsur utusan daerah dalam keanggotan Majelis Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tangan tersebut.

Nah, setelah dibentuk lewat perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001, bagaimana kinerja yang ditunjukan DPD dalam mengemban aspirasi daerah yang diwakilinya? Rupanya tidak terlalu menggembirakan dan jauh dari harapan. Banyak yang menilai DPD kurang mampu ‘berbunyi’ karena adanya keterbatasan fungsi dan wewenangnya secara parlementer. Kondisi ini tentu membuat ‘taring’ DPD kurang tajam ketika terlibat perundingan satu meja dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal sejatinya, DPD memiliki hak untuk menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak protokoler. Begitu yang dikutip dari blog Muradi, pengamat politik yang tengah menyelesaikan studi S-3 di Australia ini.

Adapun tugas yang diemban DPD salah satunya adalah mengajukan kepada DPR mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.  Dari sekian hak yang dimiliki tersebut, seharusnya DPD harus tampil dengan ‘taring’ di parlemen. Namun, justru banyak kalangan menilai eksistensi DPD ‘melempem’ tergilas kinerja DPR.

Salah satu anggapan seperti ini datang dari Anggota DPR Zulkieflimansyah. Menurut pria yang bernaung di Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, kinerja DPD masih kalah bersaing dengan DPR.

“Seharusnya DPD bekerja seperti senator di Amerika Serikat yang mewakili daerahnya masing-masing. Selama ini lembaga DPD tidak jelas tugas dan fungsinya dalam mewakili daerah asal pemilihnya masing-masing,” ujarnya, seperti dikutip Kapanlagi.com, beberapa waktu lalu. Dia berharap, pada periode 2009-2014 nanti tugas dan fungsi DPD lebih optimal layaknya senator di Amerika Serikat.

Kritikan senada juga dilontarkan Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latief dalam sebuah acara dialog di Gedung DPD RI, pada 20 Februari lalu. Dia berpendapat, kurang optimalnya kinerja DPD tersebut akibat lemahnya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang (UU) yang ada saat ini.  “Kewenangan DPD harus kuat dan dijamin oleh UU karena keberadaaan DPD dapat menjaga kesatuan bangsa, seperti menjaga otonomi daerah yang berlaku tidak kebablasan,” ujarnya.

Tentukan Pilihan Bijak

Melesetnya kinerja DPD dari ekspetasi berbagai kalangan berujung kepada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan anggota partai politik (parpol) menjadi anggota DPD. Awalnya, putusan ini mengundang kontradiksi, terutama dari kalangan DPD dan beberapa LSM. Mereka menganggap DPD dari kalangan parpol akan semakin mengaburkan fungsi dan wewenang DPD di parlemen.

“Ditakutkan, DPD yang diusung parpol memiliki deal-deal khusus terhadap parpol tersebut, sehingga mereka tidak lagi melihat kepentingan daerah yang diwakilinya. Seharusnya kepentingan daerah lebih kuat dari pada kepentingan politik. Seharusnya kepentingan daerah lebih kuat dari pada kepentingan politik,” begitu bunyi pendapat yang bergeming saat itu.

Namun apa mau dikata, meskipun pihak yang bergeming sudah melakukan berbagai upaya agar MK mencabut putusan tersebut, toh tetap saja MK menolak gugatan DPD terkait judicial review UU Pemilu tentang syarat keanggotaan DPD yang telah diputuskannya setahun lalu.

Kondisi tersebut pun akhirnya diantisipasi oleh parpol dengan menyiapkan kader-kader terbaiknya. Mereka menjadikan putusan MK sebagai momentum untuk memperbaiki kinerja lembaga DPD. Kebanyakan parpol yakin, dengan adanya ‘campur-tangan’ mereka dalam bursa DPD mampu menyelamatkan citra DPD.

Benarkah pendapat di atas? Yang jelas, semua ini dikembalikan kepada pilihan rakyat. Bagaimanapun juga wajah DPD di masa mendatang bergantung siapa personil yang dipilih rakyat. Untuk itu, baiknya DPD mendatang harus mampu merealisasikan aspirasi dan menjalankan amanah yang telah diberikan rakyat pemilihnya.

Lalu, bagaimana cara memilih calon DPD yang tepat? Simpel saja, yang jelas calon yang dipilihnya adalah pribadi yang cerdas, memiliki integritas terhadap kesejahteraan daerahnya, dan tidak mempunyai catatan buruk sepanjang karir politiknya. Jadi, selama mereka tidak memiliki komitmen pembangunan daerah, lebih baik tidak usah dipilih. Nah, apakah pembaca sudah punya calon DPD yang berkenan di hati? Mari isi Pemilu 2009 dengan pilihan yang bijaksana. Selamat menentukan pilihan.

*Artikel dimuat di Tabloid Fatwa edisi Maret 2009, sebagai bagian dari kampanye pemenangan AM Fatwa sebagai DPD-RI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *