Randi (nama samaran) tidak menyangka kebiasaannya mengkonsumsi narkoba membuat dirinya terjangkit virus HIV ketika dirujuk untuk melakukan tes HIV. Atas rekomendasi medis, dia mengkonsumsi ARV (Antiretroviral) secara teratur. Tak terasa 5 tahun berlalu, namun dia merasa ada yang janggal dengan pengobatan medis tersebut. “Saya merasa hidup saya tergantung oleh obat tersebut. Timbul semacam paranoid kalau terlambat atau tidak mengkonsumsinya umur saya berkurang.”
Di tengah kegusarannya, dia akhirnya mendapatkan sebuah artikel tentang pengobatan alternatif untuk penderita HIV/AIDS. Rasa ragu sebenarnya membayangi dirinya terhadap kebenaran artikel tersebut. Tetapi karena dirinya sudah pasrah terhadap kondisi yang ada, dia pun akhirnya memutuskan berhenti mengkonsumsi ARV dan beralih ke pengobatan alternatif. “Sebenarnya saya mengambil keputusan ini dalam keadaan apatis. Kalau toh akhirnya saya meninggal karena virus ini, lebih baik minum herbal seumur hidup dari pada minum ARV karena herbal tidak ada efek samping dan hidup saya menjadi lebih tenang,” paparnya.
Jika merujuk kepada medis, keputusan yang diambil Randi tergolong nekat. Bagaimanapun juga, ARV sudah dipercaya sebagai obat yang mampu menekan jumlah virus HIV di dalam darah penderita HIV/AIDS. Namun, tidak begitu dengan keyakinan yang dianut para AIDS denialist. Mereka menyangkal keberadaaan HIV dan menuding virus ini adalah sebuah kebohongan. Sekalipun menerima eksistensi HIV, mereka percaya bahwa virus tersebut bukan penyebab AIDS. Gejala AIDS yang timbul menurut mereka diakibatkan sebagai kombinasi dari penggunaan narkoba, kekurangan nutrisi, sanitasi yang buruk, dan efek samping ARV.
Selain mengkritik keterkaitan antara HIV dan AIDS, para AIDS denialist juga mempromosikan pengobatan alternatif sebagai penyembuhan yang jitu daripada ARV. Mereka umumnya membangkang dari pemeriksaan medis dan bermusuhan dengan industri farmasi ilmiah. Di berbagai negara, beberapa ilmuwan telah mengkonversi diri mereka sebagai AIDS denialist. Salah satu yang tersohor dan berpengaruh adalah Peter Duesberg, Profesor Biologi Mokular dan Sel di University of California yang sejak tahun 1987 membantah bukti ilmiah yang menyebutkan HIV adalah penyebab AIDS. Ilmuwan lainnya yang tak kalah membangkang adalah ahli biokimia David Rasnick dan Harvey Bialy. Bahkan, Kary Mullis, yang dianugerahi Nobel Prize untuk perannya dalam pengembangan PCR menunjukkan simpatinya terhadap teori AIDS denialist.
Lalu bagaimana eksistensi AIDS denialist di Indonesia yang notabene sebagai salah satu negara yang cukup progresif dalam pertumbuhan penderita HIV/AIDS? Menurut Agus Sunandar, ahli pengobatan tradisional Yasar Nurma Foundation, komunitas AIDS denialist di Indonesia belum memperlihatkan perkembangan yang berarti. “Di negeri ini, AIDS denialist hanya digerakkan oleh penggiat pengobatan alternatif dan holistik. Sementara ODHA belum ada yang menjadi denialist karena mereka cenderung menutup diri. Tidak seperti di luar negeri, ODHA dirangkul dan tidak memandang HIV/AIDS sebagai sesuatu yang buruk. Tidak begitu di Indonesia, ODHA terisolir dan ‘dipaksa’ menggunakan HIV. Makanya kita bisa melihat ODHA pro-ARV dan anti-ARV saling memusuhi,” ujarnya ketika dijumpai POPULAR.
‘Permusuhan’ yang terjadi di antara pro-ARV dan anti-ARV di kalangan ODHA menurut Agus dipicu oleh penanganan HIV/AIDS yang tidak tepat sasaran. Dia mencontohkan, di milis AIDS-secure yang berbasis di Amerika Serikat, semua penderita HIV/AIDS berkumpul dan berdiskusi. Tidak ada pengkotak-kotakan terapi pengobatan yang dilakukan baik melalui ARV atau holistik. “Tetapi yang terjadi di milis AIDS-ina lebih banyak berbicara tentang kelompok pengguna ARV tanpa melibatkan holistik. Mereka berbicara hanya tentang ARV dan dana,” tandasnya.
Selain itu, Agus mempertanyakan rekomendasi medis yang selalu mendorong pengguna jarum suntik, narkoba, dan penyakit menular seksual (PMS) untuk melakukan tes HIV. “Kalau di luar negeri, pengguna narkoba yang kesehatannya merosot tidak langsung diarahkan untuk tes HIV melainkan dicari penyebab lainnya terlebih dahulu. Parahnya lagi, tes HIV di sini standar dilusinya 1:20 hingga 1:30, sementara di luar negeri 1:400. Sehingga mereka yang diperiksa darahnya di sini rentan sekali false positive.”
Agus mencatat setidaknya terdapat lebih dari 60 kondisi penyakit yang mengakibatkan false positive jika seseorang melakukan tes HIV dengan standar dilusi 1:20, seperti gagal ginjal, virus herpes simplex, malaria, hepatitis B, tumor/kanker ganas, lupus SLE, flu, TBC, lepra, sirosis akut, dan sebagainya. Namun, begitu diperiksa dengan tes dilusi 1:400 hasilnya akan menjadi negatif. “Pernah ada pasien pengguna narkoba yang dinyatakan positif HIV datang ke saya. Dengan diagnosa kasar saja saya tahu kalau dia penderita TBC. Tetapi oleh rumah sakit dia hanya disuruh menjalani tes HIV tanpa melibatkan tes paru-parunya karena mereka cenderung melihat perilaku tanpa melihat riwayat. Makanya pengguna narkoba langsung diarahkan tes HIV tanpa melihat tes lainnya.”
Selain itu, Agus juga mengaku pernah dibuat bingung oleh pasien seorang ibu tua berusia 58 yang menderita sariawan di mulutnya, tetapi begitu dilakukan tes HIV dia dinyatakan positif. “Dia tiba-tiba saja langsung disuruh minum ARV seumur hidup. Hal ini tentunya menambah beban dia. Padahal, menurut hasil analisa saya ternyata sariawan itu berasal dari asam lambungnya yang tinggi karena hobi memakan mie instant,” tandasnya.
ARV Membuat Takut
AIDS denialist memang menentang diagnosa secara medis bagi penderita diduga HIV/AIDS. Mereka lebih menekankan pendekatan secara holistik, diagnosa menyeluruh organ tubuh penderita, tidak dalam satu aspek tes HIV, serta dengan melihat riwayat penyakit. “Pengguna jarum suntik, jika menyuntikkan heroin ke dalam pembuluh darahnya berarti di dalam darahnya berpotensi timbul sel-sel kanker. Bagi pecandu, mereka dipastikan pula terkena hepatitis dan menimbulkan pembengkakan kelenjar. Jika dites HIV dia sudah dipastikan positif,” ungkap Agus.
Seseorang yang melakukan tes HIV, jika dinyatakan positif HIV, sudah dipastikan pengobatan yang direkomendasikan medis adalah ARV. Padahal, Agus berpendapat ARV itu seperti antibiotik lainnya. Jika digunakan berkepanjangan akan merusak. Apalagi, pada dasarnya dia memandang obat-obat kimia merupakan racun untuk hati. “Mereka tidak memberikan pilihan pengobatan kepada penderita HIV/AIDS yang diperlakukan sebagai komoditas. ARV tidak humanis dan cenderung membuat orang takut dengan slogannya yang digembar-gemborkan sebagai penahan perkembangan virus dan memperpanjang umur, tetapi tidak pernah ditulis kontra indikasi dan efek samping ataupun penggunaan suplemen makanan. Di sini tidak boleh ada arti kata penyembuhan karena tujuannya hanya untuk mempromosikan penggunaan ARV saja dan menempatkan pasien sebagai objek,” terangnya.
Untuk kualitas hidup, Agus menjamin penderita HIV/AIDS yang menggunakan terapi holistik lebih baik dibandingkan mereka yang bergantung pada ARV. “Hal ini dikarenakan secara mental mereka tidak merasa ‘terancam’ karena kesehatan mereka adalah milik pribadi bukan milik kelompok, mereka terbiasa menjadi own consellor, pro-aktif memeriksakan gejala kesehatan tubuhnya. Sedangkan pengguna ARV, jika tidak minum obat tersebut mereka keluar dari kelompok tersebut.
Secara pribadi, meskipun berseberangan dengan dunia medis, Agus menyebut dirinya sudah makan asam garam menangani berbagai macam penyakit secara turun-temurun sejak tahun 1970. Ketika pasien HIV/AIDS yang ditanganinya diklaim sembuh, dia langsung mendirikan Yasar-Nurma Foundation pada 2 Agustus 2008 dengan mengantongi ijin dari dari Menteri Hukum & HAM dan Dinas Kesehatan.
Dengan pendekatan holistik, Agus mengklaim tingkat kesembuhan menjadi hal yang memungkinkan. “Kami lebih terbuka kepada mereka. Kami menghindarkan mereka melakukan tes HIV sebelum ditemukan hal-hal baru mengenai tes HIV itu sendiri. Kami juga menyarankan mereka untuk melakukan tes laboratorium ulang secara berkala setelah tes HIV pertama dilakukan dan mencari solusi kenapa bisa false positive. Kami pada dasarnya tidak menyangkal virus HIV, sebelum bisa dibuktikan HIV itu seperti apa. Kami tidak akan setuju dengan anggapan kalau HIV itu ada di dalam tubuh. Menurut kami itu adalah virus lain, jamur, dan sel-sel kanker yang tidak membutuhkan ARV karena penemu virus HIV Luc Montagnier saja bilang atasi virus ini dengan nutrisi. Berarti pengobatannya harus lewat bahan alami bukan kimia,” tandasnya.
Apakah dengan adanya argumen AIDS denialist membuat penderita HIV/AIDS segera beralih ke pengobatan holistik? Budi (nama samaran), seorang telemarketing penderita HIV/AIDS mengaku sempat mendengar tentang terapi holistrik untuk penyakitnya. Namun tidak serta-merta dia yakin dengan kabar tersebut. “Saya sih tetap setia dengan ARV. Soalnya saya takut jika meninggalkan obat ini kesehatan saya akan parah. Setelah terapi ARV berat badan saya naik seperti semula. Kalau harus ganti metode pengobatan rasanya lebih beresiko,” tukasnya.
Komisi Penanggulangan AIDS
Sementara itu Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI dalam upaya penanggulangan epidemik AIDS di Indonesia, tidak menutup mata dengan keberadaan para AIDS denialist yang makin berani menunjukkan eksistensi menyebarkan paham-pahamnya.
Bagaimana tanggapan mereka terhadap pendapat yang menyatakan tujuan di balik pembuatan obat-obatan tersebut adalah monopoli kaum pro AIDS (AIDS konvensional) bersama perusahaan farmasi yang tidak ingin ditinggalkan pembeli. Konspirasi tingkat tinggi yang hingga sekarang terus menjadi perdebatan dokter seluruh dunia.
“Kabar paling baru datang dari International AIDS Conference di Wina, Austria belum lama ini. Saat itu ada seorang dokter yang menganjurkan Treatment Of Prevention. Yaitu sebuah revolusi yang mengharuskan semua orang yang teridentifikasi AIDS harus mengkonsumsi ARV. Jelas hal tersebut menuai kritik, karena itu sama saja dengan cari untung,” beber Dr. Nafsiah Mboi SpA, MPH, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional kepada POPULAR.
Menurutnya hal itu tidak masuk akal, karena sepertinya mengindikasikan sebuah kerjasama dengan pabrik pembuatan obat yang hanya memikirkan sisi komersil untuk kepentingan segelintir pihak. “Saya sebagai dokter juga tidak setuju dengan pendapat yang mengharuskan positif AIDS meminum ARV. Seperti kasus flu burung di Indonesia sampai menyebar berita akan menjadi pandemik dan diharuskan untuk membeli obat-obatannya. Sama seperti AIDS yang diharuskan menyetok ARV, itu tidak betul. Harus dilihat dulu sampai mana tahap ia terkena virus HIV dan harus sesuai dengan kebutuhan pasien,” lanjutnya.
Meski ia tak setuju dengan penyamarataan konsumsi ARV pada orang yang positif HIV-AIDS, ia tetap tidak percaya sepenuhnya dengan para AIDS denialist. Lantaran sejauh ini ia belum menemukan seseorang yang bisa sembuh dari HIV tanpa ARV dan obat-obatan kimiawi lainnya. “Beberapa waktu lalu gencar pemanfaatkan buah merah yang dikatakan bisa menyembuhkan AIDS. Lalu ada seorang pasien AIDS dengan TBC yang meyakini jika bisa sembuh dengan buah merah serta meninggalkan ARV dan obat TBC nya. Akhirnya ia meninggal sebulan kemudian,” ungkap Dr. Nafsiah.
Namun ia melembek jika pasien HIV/AIDS bisa mengkombinasikan obat-obatan kimiawi dengan pengobatan alami dengan tujuan memperbaiki nutrisi dan gizi. Termasuk mengkombinasikan buah merah tanpa meninggalkan ARV. “Holistik dalam hal ini meningkatkan daya tahan tubuh, itu baru saya setuju. Misalnya dengan menggabungkan ARV dengan buah merah yang kaya dengan zat antioksidan. Jadi tidak bisa hanya dengan satu pengobatan saja. Karena jika orang terserang AIDS pasti punya penyakit penyertanya seperti TBC, Kanker, Hepatitis, dan lain-lain. Jadi semua tergantung kebutuhan si pasien,” tegasnya lagi.
Ia pun tak membantah jika virus HIV bisa lenyap dengan sendirinya dari tubuh, seperti yang dikemukakan penemu virus HIV – Luc Montagnier, asal dengan beberapa syarat. “Asal jumlah virus kecil dan tipe atau sub tipe virus bukan termasuk yang ganas karena ada bermacam jenis virus. Namun yang kebanyakan terjadi tidak seperti itu. Seperti berhubungan seksual beresiko namun dilakukan berkali-kali. Belum lagi pola hidup tidak dijaga seperti begadang dan mabuk-mabukan. Jelas daya tubuh terus menurun bahkan hancur. Namun bagi yang menjaga pola hidup sehat dan imunitas, HIV akan hilang dengan sendirinya dalam tubuh dan bebas dari konsumsi ARV,” urainya.
Jika pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari HIV, lalu tidak menjaga pola hidupnya seperti masih begadang, mabuk, dan seks bebas, tentu virus HIV akan kembali lagi. “Mungkin dalam jaringan si pasien dinyatakan sembuh, tapi dalam darah virus itu masih tetap ada namun tidak terdeteksi dan akan kembali ganas jika tidak menjaga pola hidup sehat,” tandasnya.
*Artikel pernah dimuat di Majalah Populer edisi Mei 2011 dengan judul “HIV = Hoax?”
Kami ada menulis tentang hubungan HIV dengan nutrisi yang banyak ditulis di blog-blog. Berikut tautnya HIV sembuh dengan nutrisi?. Silakan berkunjung, terima kasih.
Namun bagi yang menjaga pola hidup sehat dan imunitas, HIV akan hilang dengan sendirinya dalam tubuh dan bebas dari konsumsi ARV