
Di bangku sekolah, kita semua mungkin sudah diberikan pemahaman mengenai posisi sandang, pangan, dan papan sebagai kebutuhan pokok (primer) manusia. Tapi apakah kita sudah menempatkan air sebagai posisi terpenting dalam bagian pangan?
Selama ini kita dijejali informasi posisi air sebagai kebutuhan primer hanya lebih kepada konsumsinya saja, yakni minimal 8 gelas per hari. Padahal, di balik konsumsi air tersebut, dunia tengah dihadapi permasalahan krisis air. Bisa dibilang, kita seolah hanya didorong untuk peduli pada tuntutan konsumi airnya saja demi kesehatan, tanpa membuka mata bahwa tuntutan seperti ini akan tidak relevan lagi di kemudian hari jika dunia dilanda krisis air.
Apakah benar dunia akan segawat itu? Ya, berdasarkan studi yang dilakukan organisasi non-profit World Resources Institute (WRI), sekitar seperlima dari negara yang ada di dunia akan menghadapi kekurangan air akut pada tahun 2040. Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim yang mengganggu pola curah hujan. Selain itu, pertumbuhan populasi yang mendorong kebutuhan akan air juga menjadi faktor yang tidak dapat dipungkiri.
Memang, saat ini dari daftar 33 negara yang paling mungkin menderita kekurangan air sebagian besar adalah negara-negara di Timur Tengah seperti Bahrain, Kuwait, Palestina, Uni Emirat Arab, Oman, Lebanon, dan Arab Saudi. Tapi di balik itu ada negara ‘non-padang pasir’ seperti Singapura dan San Marino yang justru berada di peringkat tertinggi negara paling beresiko kekurangan air.
Meskipun tidak masuk dalam ‘raport merah’ 33 negara yang beresiko tinggi, Indonesia nyatanya berpotensi mengalami kengerian yang sama dengan negara-negara tersebut. Kenapa? Pasalnya, Indonesia merupakan negara yang pertumbuhan penduduknya masuk dalam kategori 5 besar, begitupun dari jumlah penduduk.
Selain itu, dengan iklim tropis, negara yang kita cintai ini termasuk negara yang mengalami dampak besar dari perubahan iklim. Jadi posisinya memang tidak aman dari krisis air, malah jauh dari aman, karena tingkat kelangkaan airnya berada dalam kategori “High” dengan persentase berkisar 40-80%.

Jakarta, sebagai ibukota negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar sudah dipastikan jadi kota paling beresiko kekurangan air dibandingkan kota lainnya. Pembangunan yang tidak memperhatikan tanah resapan dan lingkungan, serta faktor-faktor universal yang telah disebutkan di atas, membuat kota ini seolah akan jadi kota paling kering di Indonesia.
Dari kacamata Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya, selaku pihak yang mendistribusikan air bersih ke masyarakat, Jakarta memang diakui sebagai kawasan yang rentan terhadap krisis air, terutama air yang layak pakai. Hal ini dikarenakan tidak ada lagi instalasi air bersih yang menyentuh seluruh titik ibukota.
“Sejak tahun 1997, kami tidak menambah instalasi pengolahan air terbaru. Jadi apa yang dipakai saat ini berasal dari instalasi yang dilakukan pada tahun 1950-an, ketika air diambil pertama kali dialirkan dari Ciliwung,” ujar Erlan Hidayat, Direktur Utama PDAM Jaya, dalam sesi workshop yang dihadiri kalangan blogger, Kamis (8/12/2016) lalu.
Mantan petinggi PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta ini juga menambahkan, air bersih yang didistribusikan PDAM Jaya ke Jakarta saat ini sebanyak 80% berasal dari Jatiluhur dan 15% dari Tangerang. Sementara sungai-sungai yang ada di Jakarta sendiri hanya memberikan kontribusi sebesar 4% saja.
Nah, agar layak pakai–terutama untuk kebutuhan minum–PDAM Jaya bekerja sama dengan Perusahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah (PD PAL Jaya) dalam melakukan uji klinis tingkat tinggi pada air yang dikelolanya sebelum didistribusikan ke masyarakat.
“Setiap bulannya kami mengambil seratus lebih sampel dari beberapa titik. Bahkan di area Barat, kami memiliki sebanyak 800 lebih titik sampel. Semua itu kami tangani langsung dengan tim uji klinis yang jadi salah satu terbaik di Indonesia,” pungkas Erlan.
Dalam kesempatan yang sama, Subekti dari PD PAL Jaya mengatakan, alasan kenapa kontribusi sungai di Jakarta hanya sebanyak 4% saja dalam distribusi air bersih, tak lain karena sebanyak 13 sungai yang ada di daerah ini tidak bisa digunakan lagi karena kualitasnya sudah sedemikian parah jeleknya.
Menurut dia, salah satu penyebab dari jeleknya kualitas air sungai Jakarta adalah karena persoalan sanitasi. Gaya hidup masyarakat ibukota yang kurang sadar lingkungan membuat air bekas pakai tidak lagi bisa didaur ulang. Terutama dalam hal penyediaan septic tank di perumahan yang terlalu dekat dengan sungai atau sumber air lainnya yang membuat kontaminasi bakteri yang sangat tinggi.
Itulah sebabnya, saat ini PD PAL Jaya tengah menjalankan program bertitel “Sanitasi untuk Jakarta” untuk menyadarkan warga ibukota mengenai ancaman krisis air, sekaligus memberikan solusi tata kelola air di Jakarta. Adapun salah satu wujud dari program tersebut adalah dengan menyediakan sarana pengelolaan air limbah sistem perpipaan yang terpusat, di mana warga bisa membuang air bekas pakai ke saluran perpipaan milik perusahaan yang berafiliasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini.
“Saat ini ada sebanyak 2 juta septic tank di Jakarta tidak sesuai standar karena gampang bocor. Apalagi baru sebanyak 20% dari mereka yang melakukan sedot tinja secara berkala, karena masih bergantung pada penggunaan cupluk (sejenis saringan yang membatasi tanah dengan septic tank), sehingga tinja yang terkumpul di dalamnya berpotensi merembes dan membuat tanah di sekitarnya terkontaminasi dan juga membuat air di sungai jadi tercemar,” ujar Subekti.
Menyadari bahwa sanitasi yang buruk bisa memicu terjadinya krisis air di Jakarta, saat ini PAL Jaya memiliki septic tank anti bocor berkualitas tinggi bernama BIOPAL sebagai bagian dari layanan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Dengan adanya penggunaan septic tank ini, maka air limbah bekas cucian atau buangan biologis seperti tinja akan dialirkan melalui IPAL terpusat yang berada di Waduk Setiabudi dan selanjutnya dibuang ke sungai setelah diolah sampai tingkat baku mutu yang telah ditentukan. Tidak cuma instalasi saja, PAL Jaya juga memberikan layanan penyedotan tinja secara berkala agar tinja tidak tertumpuk lama di dalam septic tank.
“Jadi sekarang kami sedang berupaya mengubah mindset masyarakat agar tidak cuma bisa menggunakan air saja, tetapi juga bisa memikirkan bagaimana air yang bekas dipakai itu bisa layak daur ulang. Salah satu caranya tentu dengan pemanfaatkan BIOPAL ini,” pungkas Subekti.
Nah, jika pemanfaatan BIOPAL digalakkan dari sekarang, Jakarta ke depannya tentu bisa memiliki banyak sumber air yang layak didaur ulang untuk dikonsumsi kembali. Dengan begitu, apa yang ditakutkan pada studi WRI mengenai krisis air bisa diantisipasi sejak dini. Jadi, siapkah kita beralih ke sistem sanitasi terpusat seperti ini? Kalau bukan kita, siapa lagi?
*Artikel ini memenangkan Juara I PAM Jaya Writing Competition #SelamatkanAirJakarta 2016
Bagus bgt Cat… Congratz yaaaa….
Thx Miaw…
Sering2 mampir ke sini yaaak 🙂