Pepatah “kesempatan tidak datang dua kali” memang benar adanya. Namun, bagaimana dengan kesempatan yang datang secara beruntun? Apakah kita harus menanggapi semuanya? Bagi orang yang terjebak dengan anggapan tersebut, kesempatan yang beruntun pastinya akan digubris seluruhnya tanpa memikirkan bahwa semua itu akan memakan waktu dan pikiran. Niatnya mau aji mumpung malah bikin buntung.
Saya termasuk orang yang tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dimana dan kapan pun kesempatan itu datang, pasti dihajar aja. Mudah bagi saya mengiyakan kesempatan yang datang tanpa berpikir bahwa saya belum tentu bisa menjalaninya. Contohnya ya baru-baru ini. Tawaran menulis berbagai buku proyek dari departemen tertentu datang dengan mudahnya kepada saya. Di saat yang bersamaan, saya juga mendapatkan tawaran untuk menulis biografi seorang tokoh pendidikan dan juga diminta untuk menyadur beberap buku ilmiah miliknya yang akan dipublikasikan.
Sebenarnya sih, kalau saja deadline dari tawaran tersebut tidak berdekatan, saya mau saja menggarapnya. Masalahnya, untuk penulisan isi buku direktori sebuah instansi, saya harus menjabaninya akhir bulan September. Sementara proyek biografi bulan Desember, dan untuk saduran buku ilmiah pada November. Sedangkan rata-rata ketebalan buku tersebut di atas 200 halaman.
Meskipun saya ragu akan menyelesaikan dua tawaran terakhir dengan tepat waktu, entah kenapa saya tidak mengiyakan dan tidak juga menolak tawaran yang dihitung-hitung secara rupiah tentu saja menggiurkan. “Besok lusa aja deh, pak saya beri jawaban. Soalnya saya mesti hitung-hitung waktu tempuhnya nih,” janji saya waktu itu kepada si pemberi tawaran.
Di tengah kegamangan antara “ditolak sayang, diterima nendang” ini, sebenarnya secara sadar, tidur yang kenyang akhir-akhir ini menjadi barang yang mahal bagi saya. Bagaimana tidak. Selain berkutat di majalah bulanan, saya juga harus menyusun konsep dan isi dari buku direktori yang akan terbit bulan depan. Otomatis, siang hari saya habiskan untuk liputan, sedang sore atau malamnya saya mulai utak-atik konsep.
Sampai akhirnya, saya mendapat sebuah inspirasi yang mengharuskan saya untuk berkata tidak untuk dua tawaran terakhir itu. Inspirasi ini datang dari seorang bos wedding organizer (WO) yang bakal menangani pernikahan abang saya awal tahun depan. Kebetulan saat itu saya sedang ikutan antar abang saya dan tunangannya untuk brainstorming mengenai konsep acara pernikahannya.
Kepada kami, Mas Jim–begitu dia dipanggil–mengatakan, dirinya sangat menjaga kepercayaan klien. Saking seriusnya, dia sampai enggan menerima tawaran lebih dari dua hajatan dalam sehari. Menurutnya, jika pekerjaan itu diforsir, hasilnya akan tidak maksimal karena konsentrasi akan terpecah. Jika sudah begini, klien tentu akan kecewa. Dampaknya udah jelas: klien bakal komplain. “Ini merupakan promosi yang buruk buat usaha saya. Makanya, jangan pernah deh ngambil banyak job di luar kemampuan. Mending sedikit, tapi klien puas. Kepercayaan klien itu mahal,” tandasnya.
Dus, kalimat terakhir ini begitu mengena di otak saya. Benar juga: kepercayaan klien itu mahal. Jika saja saya ambil proyek penulisan buku itu semua, bisa jadi hasilnya bakal semrawut. Kalo saja si empu proyek tidak puas, tentu dia tidak akan merekomendasikan saya kepada orang lain. Otomatis, jangan ngimpi deh dapat proyekan lagi. Makanya, besok saja akan mantapkan langkah untuk mengatakan “tidak” untuk dua tawaran terakhir itu. Karena kepercayaan lebih penting dijaga daripada memanfaatkan kesempatan…
*Disadur dari blog Planetmiring.com (28/8/2008), ketika masih laris-larisnya dapat tawaran manis hehehe….