Selain dirongrong deadline yang mencekik, seorang jurnalis juga dituntut harus teliti dalam menulis. Dalam hal ini, cross-check merupakan penawar terdepan. Sayangnya, dengan ritme kerja yang sedemikian megap-megap memicu adrenalin, terkadang jurnalis juga melalaikan ketelitian dan mengabaikan cross-check yang sayangnya juga terlewat begitu aja dari kurasi editor.
Salah penulisan isi berita, nama narasumber, dan judul, merupakan momok yang menakutkan bagi catatan karir seorang jurnalis. Jangankan mereka yang baru bergelut di bidang ini, ada kalanya yang udah makan asam-garam saja masih tersandung juga. Jurnalis juga manusia, bukan?
Saya pernah teringat pengalaman buruk seorang teman yang bekerja di sebuah harian. Ketika menulis berita kriminal tentang supir taksi yang merampok penumpangnya, teman saya melakukan kesalahan pencantuman nama armada taksi. Teman saya mengira nama taksi yang digunakan pelaku adalah nama kepanjangan dari sebuah perusahaan armada taksi tertentu. Padahal, antara keduanya berbeda.
Akibatnya, sehari setelah berita itu terbit, kantor redaksi teman saya itu didemo oleh ratusan supir taksi dari armada taksi yang ditulis. Mereka menuntut bahwa perusahaan taksi yang digunakan pelaku berbeda dengan armada mereka. Malah, pendemo meminta agar pihak redaksi menyerahkan teman saya untuk dieksekusi. Serem banget kan?
Nah, apa yang teman saya alami tampaknya juga saya (tak sengaja) lakoni untuk majalah saya edisi ini. Ketika membuat laporan utama tentang Indonesia Go Open Source (IGOS), salah satu narasumber yang saya wawancarai dari sisi vendor adalah Wibisono Gumulya, Presiden Direktur PT Sun Microsystems Indonesia.
Entah kenapa ya, meskipun saya sangat familiar dengan beliau, tetap saja yang terekam di otak saya adalah nama Gunawan Wibisono, salah satu penulis dan nara sumber saya yang lain. Maka, disinkronisasi antara otak dan tangan pun terjadi. Saya menulis Gunawan Wibisono, sebagai presiden direktur perusahaan tersebut. Kacau banget kan?
Udah gitu, pemred saya yang memang percaya banget sama tulisan saya, langsung aja main lay-out. Maklum, meski jelek-jelek begini, tulisan saya hampir seluruhnya selalu lolos dalam proses edit. Kalaupun dikoreksi *bukan bermaksud sombong lho* paling tidak lebih dari 10% atas keseluruhan materi tulisan yang saya garap. Ciyeeehh….
Makanya, gkesalahan ini merupakan catatan agar saya lebih teliti, teliti, dan teliti. Paling setelah majalah ini sampai ke tangan yang bersangkutan, PR-nya bakal nelpon minta klarifikasi. Nah, demi akurnya hubungan antara jurnalis dan narasumber *dalam hal yang positif* tampaknya saya juga harus menyediakan ruang ralat di edisi nanti. Maaf banget ya, Pak Wibi…
*Disadur dari blog Planetmiring.com (8/8/2008)