
Sebagai kekuatan alam, tsunami datang dan pergi seolah tiada yang mengetahui. Selama ini, mungkin hanya ratapan manusia yang mengiringi kerusakan dan kematian setelah dilalui gelombang dasyatnya. Namun, semakin berkembangnya zaman dan kesadaran akan bahaya tsunami, beberapa negara mulai mengembangkan sistem peringatan dini secara progresif untuk mengantisipasi jatuhnya korban jiwa. Ponsel dalam genggaman pun didesain sebagai ‘malaikat penyelamat’ ketika tsunami siap menerjang.
“Indonesia Rawan Bencana”, begitu jargon yang dikumandangkan Kementerian Ristek lewat jajarannya. Terdengar seperti isapan jempol? Tentu tidak. Sejarah mencatat, selain bencana alam yang diakibatkan oleh manusia, Indonesia ternyata rawan terhadap bencana gunung meletus, gempa bumi, hingga tsunami.
Khusus bencana tsunami, sudah dipastikan kita sulit melupakan peristiwa yang pernah menimpa Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004 lalu yang menghancurkan hampir lebih dari 80% sarana infrastruktur dan bangunan yang ada di sana. Bahkan hantaman gelombang tsunami yang berasal dari gempa ber-kekuatan 9,3 skala Richter ini memakan lebih dari 250.000 korban jiwa dari beberapa negara kawasan Samudera Hindia, seperti Thailand, Srilanka, Somalia, Myanmar, India, Maladewa, hingga Afrika Selatan.
Sebelumnya, berdasarkan data yang diperoleh dari Intergovernmental Ocea-nographic Commision of UNESCO, International Tsunami Information Centre, dan Jakarta Tsunami Information Centre, Indonesia pernah mengalami teletsunamiatau tsunami yang berasal dari sumber yang jangkauannya lebih dari 1.000 km. Tsunami yang jarang terjadi namun memiliki daya rusak tinggi ini pernah menerpa daratan Indonesia pada 27 Agustus 1883 di Krakatau.
Potensi Tsunami di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap tsunami, terutama kepulauan yang berhadapan langsung dengan pertemuan lempeng, antara lain Barat Sumatera, Selatan Jawa, Nusa Tenggara, Utara Papua, Sulawesi dan Maluku, serta Timur Kalimantan. Tsunami di Indonesia pada umumnya adalah tsunami lokal, dimana waktu antara terjadinya gempabumi dan datangnya gelombang tsunami antara 20 s.d 30 menit.
Selain itu, pada data yang tercatat sejak 1975, Indonesia juga pernah diterjang tsunami regional yang memiliki daya terjang dalam radius 1.000 km dari sumbernya pada 19 Agustus 1977 di Sumbawa, 18 Juli 1979 di Pulau Lembata, 12 Desember 1992 di Pulau Flores, 1 Januari 1996 di Sulawesi, 17 Februari 1996 di Irian Jaya, 17 Juli 2006 di selatan Pulau Jawa, dan 12 September 2007 di Bengkulu dan Sumatera Barat.
Jika merujuk dari data tersebut, sudah menjadi keharusan bagi negeri ini memiliki suatu sistem peringatan dini tsunami (Tsunami Early Warning System/TEWS) yang terintegrasi. Sejauh ini, tak lama setelah tsunami melanda Aceh dan sekitarnya, Indonesia telah menerima bantuan beberapa unit buoy dari Jerman, Norwegia, dan beberapa negara sahabat. Bahkan beberapa waktu lalu, Indonesia juga telah menerima bantuan satu unit buoy dari Amerika Serikat.
Sekadar informasi, buoy adalah sebuah alat pendeteksi tsunami (Deep-Ocean Assessment and Reporting of Tsunami/DART) yang terapung di permukaan laut dan merupakan bagian dari skema teknologi TEWS yang disandingkan dengan perangkat OBU (Ocean Bottom Unit) yang terpasang di dasar laut. OBU dipasang bersama seismometeruntuk mendeteksi kekuatan gempa di dasar laut.
Ketika terjadi getaran gempa, OBU akan mengirimkan informasi kekuatan gempa ke buoy yang dilengkapi dengan penerima GPS (Global Positioning System) untuk memberikan data tentang posisi derajat lintang dan derajat bujur unit yang terapung. Kemudian, buoy secara real-time memancarkan informasi lewat satelit pemancar untuk diteruskan ke master station yang ada di daratan. Jika kekuatan gempa mengindikasikan tsunami maka pihak terkait yang berada di master stationlangsung memberikan informasi ke beberapa institusi untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat berupa alarm maupun penyiaran darurat radio dan televisi.
Nah, meski kerap menerima bantuan dari beberapa negara, Ridwan Djamaluddin, kepala Pusat Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT, menampik anggapan bahwa Indonesia bergantung pada bantuan asing. Dia mengklaim pihaknya telah mampu membuat buoy lewat proses alih teknologi dari peneliti negara asing. Malah untuk proyek ini, pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp 5 miliar dari APBN untuk produksi satu unit buoy berikut biaya risetnya.
“Setelah sempat tertunda dalam beberapa bulan karena proses pengadaan sensor yang harus dibuat, satu unit buoy buatan Indonesia telah terpasang di selatan Selat Sunda. Saat ini, BPPT tengah mengembangkan lima unit buoy yang akan diluncurkan pada akhir tahun 2008,” ujarnya kepada e-Indonesia. Ditargetkan, dari 22 buoy yang rencananya akan terpasang di sepanjang perairan selatan hingga ke utara Indonesia, 10 di antaranya harus merupakan buatan dari peneliti lokal.
Dalam kajian grand design skenario Indonesia TEWS (Ina-TEWS), selain memberikan tuntunan dan petunjuk upaya penyelamatan bagi masyarakat ketika terjadi tsunami—untuk memperkecil potensi jumlah kematian dan kerusakan—pemerintah telah melibatkan 16 institusi di dalamnya yang dibagi dalam dua komponen yaitu, komponen struktur dan komponen kultur. Komponen struktur merupakan bagian tugas pemerintah pusat dalam pemasangan peralatan deteksi bencana, pengolahan data yang dihasilkan dan disampaikan kepada institusi dan pemerintah daerah serta media. Sedangkan komponen kultur menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dalam menyiapkan kesiagaan masyarakat terhadap bencana dan penyampaian peringatan evakuasi bencana ke masyarakat.
Peringatan Dini Via Ponsel
Selain Indonesia, beberapa negara juga mulai sibuk mengadopsi skema TEWS dari negara yang lebih dulu mengembangkannya. Padahal, sebelumnya TEWS sama sekali tidak dilirik. Namun, begitu tsunami terdasyat sepanjang sejarah terjadi di Samudera Hindia, mereka mulai ‘melek’ akan pentingnya teknologi ini. Tidak sedikit pula yang melakukan berbagai pengembangan teknologi lain untuk dipadukan dengan teknologi ini. Sebut saja MedDay, sebuah perusahaan layanan kesehatan berbasis nirkabel di Swedia. Setelah sukses mengembangkan DMS (Daily Medical Support) sebagai standar de facto berkomunikasi antara pasien dan dokter untuk pedeteksian berbagai penyakit dan menajemen kesehatan lewat aplikasi RegPoint, perusahaan ini telah berhasil mengembangkan satu sistem peringatan dini secara mobile dengan melibatkan pakar seismologi dari Uppsala University, salah satu perguruan tinggi ternama di Eropa yang berada di Swedia.
Cukup mendaftar di layanan RegPoint, jika terjadi gempa bumi berpotensi tsunami, pihak Uppsala akan mengirimkan satu pesan peringatan melalui GPRS, jaringan CDMA dan 3G ke ponsel yang sudah tertanam aplikasi ini. Informasi gempa yang didapatkan Uppsala berasal dari provider TEWS yang bersinergi dengan sistem komponen akses RegPoint. Dalam hitungan satu menit, pesan peringatan akan terkirim ke pengguna ponsel yang berada di area asal TEWS yang telah mendeteksi tsunami. Untuk membuat pengembangan standar pesan yang akan diterima pengguna, MedDay juga telah menggandeng Motorola.
Menurut President & CEO MedDay Sophia Salenius, sekarang ini sudah saatnya beberapa negara memutakhirkan TEWS yang telah dikembangkan. “TEWS yang digunakan di Amerika saat ini sudah ada sejak 1948, jauh sebelum teknologi telekomunikasi seluler ditemukan. Sistem TEWS di Amerika memang sangat handal, tetapi dalam pengiriman informasi yang dipancarkan dari buoy hingga diterima sampai radio lokal atau alarm untuk disebar ke publik, tetap memakan waktu. Bencana tsunami yang terjadi Asia Tenggara menunjukkan bahwa kecepatan informasi harus disebar ke publik secara cepat tanpa delay karena waktu sangat berharga bagi hidup mereka,” ujarnya.
Berdasarkan catatan mereka, gempa bumi pada 26 Desember 2004 terjadi pada 07:58 WIB. Setelah 90 menit sejak guncangan gempa, gelombang tsunami telah mencapai Thailand dan Aceh, satu jam kemudian Srilanka tak luput dari terjangannya. Tingginya jumlah korban yang meninggal maupun hilang ditenggarai tidak adanya sistem peringatan terintegrasi di daerah tersebut, sehingga meski beberapa sistem seismometer yang ada telah mendeteksi adanya gempa, informasi yang disampaikan tidak tepat waktu kepada masyarakat setempat.
“Saat itu, sistem kami berhasil mencatat sebelas menit setelah gempa terjadi, ini berarti hampir satu jam sebelum peringatan pertama mencapai daerah yang terkena dampaknya,” ujar Reynir Bodvarsson, kepala Jaringan Seismologi Nasional Swedia. Menurutnya, dalam hal ini otomisasi merupakan solusi. Jika RegPoint telah terkoneksi dengan sistem yang ada di Uppsala, ribuan orang bisa mendapatkan peringatan melalui ponsel mereka tak lama setelah gempa bumi terdeteksi.
Menyadari bahwa teknologi seluler dapat berperan dalam skema TEWS, Amerika Serikat dikabarkan tengah mempertimbangkan layanan aliansi infrastruktur dan jaringan keamanan regional (Regional Alliances for Infrastructure and Network Security/Rain-Net) sebagai salah satu solusi TEWS. Selama ini, layanan tersebut hanya dimanfaatkan untuk mengotomisasi peringatan dari Pusat Darurat 911 dan menyiarkan ulang pesan kepada pihak yang diberikan otorisasi di sekolah, rumah sakit, dan pusat keramaian. Layanan ini dikhususkan bagi manajer dan kalangan umum, jika diperlukan.
Untuk mendapatkan layanan secara personal lewat media ponsel, masyarakat di sana cukup menandatangani kontrak agar mendapatkan pesan darurat yang dikirim ke ponsel dari sumber lokal, pemerintah regional, maupun nasional. Salah satu operator Rain-Net, AlertUSA, juga membuka layanan serangan terorisme melalui streaming audio nirkabel dan SMS kepada pengguna ponsel dengan biaya US$ 2.99 per bulan.
Antisipasi Keterlambatan SMS
Nah, bagaimana dengan Indonesia sebagai negara yang rawan bencana? Menilik dari pengalaman simulasi bencana tsunami (tsunami drill) yang pernah dilakukan di Padang (2005) dan Bali (2006), perkembangan teknologi Ina-TEWS telah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Jika pada awalnya sistem peringatan dini hanya dapat diketahui dalam 30 menit di Padang dan selanjutnya meningkat kemampuannya menjadi 10 menit di Bali, maka pada tsunami drill yang diselenggarakan di Provinsi Banten pada tahun lalu, teknologi ini sanggup memberikan peringatan kepada masyarakat dalam jangka waktu 5 menit begitu informasi potensi tsunami diterima. Progres ini pernah terjadi pada saat gempa di Bengkulu pada 12 September 2007. Pada saat itu masyarakat setempat mencari tempat yang lebih tinggi ketika terjadi gempa setelah mendengar sirine peringatan yang diterima setelah gempa mencapai 5 menit.
Menurut Ridwan, data mengenai potensi tsunami bisa diterima BPPT lewat SMS, bahkan untuk pengiriman informasi ke Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) data bisa diperoleh dalam hitungan detik. Agar BMG tidak direpotkan dengan banyak proses analis, BPPT terus melakukan pemantauan terhadap buoy yang ada agar berfungsi secara normal. “Pada saat buoy menerima data yang mengindikasikan tsunami, kita hanya membuat pemodelan dan simulasi-simulasi. Nilai ambang yang kita ambil sebagai indikasi tsunami adalah 3 cm. Jika lebih, maka kita anggap ada fenomena tsunami di tengah laut. Dengan data ini kita bisa memprakirakan ketinggian tsunami yang akan menuju ke pantai-pantai tergantung dari karakteristik pantainya.”
Ridwan menambahkan, biasanya komunikasi via SMS lebih ditujukan kepada tim yang memantau buoy. “Kita bisa mengakses seluruh informasi lewat SMS, tetapi tidak bagi publik, karena kita ingin informasi yang diterima publik langsung dari BMG agar tidak membingungkan. Jadi akses ini hanya untuk keperluan kami saja untuk memantau performance dari buoy melingkupi posisi dan ketinggian air dari dasar laut. Ini penting agar kita tahu apakah buoy-nya masih berada di sana atau tidak, dengan akurasi hingga milimeter dan statusnya normal mode atau tsunami mode. Kalau normal, setiap satu jam datanya datang kepada kami, sedangkan jika ada potensi tsunami datanya datang tiap menit,” jelasnya.
Nah, meski sebagai pihak terdepan yang mendapatkan data terakhir tentang potensi tsunami, Ridwan menyatakan, pihaknya tidak akan mengeluarkan peringatan apapun bagi masyarakat. “Itu sudah menjadi prinsip kerja kami agar tidak membingungkan masyarakat, karena yang berkewajiban dalam masalah ini adalah BMG yang akan mendefinisikan mekanisme gempa yang berpotensi tsunami apa tidak.” Dengan teknologi yang sudah dikembangkan, BMG bisa memberitahu kepada masyarakat dalam waktu 3 menit begitu data potensi gempa dan tsunami diterima. “Namun, itu juga tergantung jarak buoy dari pusat gempa. Setidaknya, waktu 5-15 menit sudah ada konfirmasi dari BMG tentang ada atau tidaknya gempa berpotensi tsunami,” imbuhnya.
Menyadari bahwa peranan teknologi SMS sangat penting dalam penyampaian data yang dikirim lewat buoy, Menristek Kusmayanto Kadiman berharap para operator seluler meningkatkan kapasistas layanannya agar tidak terjadi keterlambatan dalam pengiriman pesan. “Rekor 5 menit yang telah dicapai dalam Ina-TEWS tentu bergantung dari kecepatan pengiriman dan penerimaan SMS. Biasanya, ada dalam suatu waktu pengiriman dan penerimaan SMS terlambat. Untuk itu, operator seluler harus bisa meningkatkan kapasitas layanan dan teknologinya untuk mengantisipasi keterlambatan SMS,” harapnya.
Sayangnya, hingga pengembangan grand design skenario Ina-TEWS yang terus mengalami kemajuan dalam mendeteksi potensi tsunami, di Indonesia belum ada pihak yang mengembangkan layanan sejenis RegPoint yang dikembangkan MedDay. Padahal, di samping kondisi geografis Indonesia yang dikatakan rawan bencana, akhir tahun ini diperkirakan penetrasi layanan telekomunikasi seluler di negeri ini menembus 65% dari total populasi penduduk.
Ini berarti, setidaknya akan terdapat 140 juta nomor aktif yang digunakan penduduk Indonesia. Sekian persen dari jumlah ini tentunya tinggal di wilayah pesisir pantai yang rawan tsunami. Jika mereka bisa memanfaatkan layanan pesan darurat bahaya tsunami secara langsung lewat ponselnya, potensi korban jiwa dapat diminimalisir. Tentunya, hal ini juga bergantung kepada provider dan operator yang menjalani layanannya. Jika pengiriman pesan tersendat, tidak mungkin tujuan dari penyelamatan akan sia-sia…
*tulisan ini pernah memenangkan Juara Harapan II XL Writing Competition 2008