Dua minggu lalu, begitu sampai di Jakarta, setelah peliputan luar daerah, saya mendapatkan SMS yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Isinya : “Dra, gue sekarang lagi di rumah sakit, ruang operasi. Gue disamurai sama suami kesayangan gue. Gara-gara kegep gue.”
Nah, karena saya tidak terlalu kaget dengan isi SMS di atas, soalnya saya yakin cepat atau lambat memang kejadiannya akan seperti ini. Jadi, dengan seperlunya saya membalas, “Wah, tapi parah ga? Gak apa2 kan lo?” Sambil berharap supaya dia tidak meminta saya untuk segera membesuknya ke rumah sakit.
Saya enggan datang buru-buru karena waktu itu badan saya capek banget, gara-gara perjalanan yang cukup panjang, dari Sinjai ke Bandara Hasanudin, Makasar = 4 jam, nunggu take off pesawat 1 jam, transit di Surabaya nunggu lagi sekitar 30 menit, terus dari Bandara Soekarno Hatta ke rumah saya 2 jam.
Jadi bisa dibayangkan betapa malangnya nasib daging pantat saya menahan beban separuh dari berat badan saya selama perjalanan tersebut. Lagian, karena udah malam, saya akhirnya memutuskan buat besuk teman saya itu besok siang, dengan perkiraan badan saya fit dan dia juga ada waktu buat istirahat.
“24 jahitan coy,” begitu ujar temen saya ketika saya besuk besok siangnya, mengenai luka bacok yang menghiasi bahunya. Sebagai korban dari tindak kekerasan dan mungkin percobaan pembunuhan, dia nggak melaporkan diri ke polisi atau apalah aparat penegak hukum yang ada di sini.
Kenapa? Karena dia nggak mau perselingkuhannya terbongkar dan jadi motif kejahatan yang menimpanya. “Gue kalo lapor, bisa malu sama keluarga. Makanya, gue bilang aja dibacok sama orang yang gak dikenal,” ujarnya memberi alasan.
Memangnya kenapa sih? Jadi begini: teman saya itu tergila-gila sama cewek yang sebut aja namanya Mawar. Tergila-gila yang saya maksud di sini bukan cinta buta ala remaja labil, tapi lebih ke penyaluran hasrat biologis. Dia nggak sadar kalo hasratnya itu membakar cemburu salah satu pihak.
Masalahnya, si Mawar ini udah bersuami. Cuma aja dengan status ini nggak menghalangi teman saya buat mengejarnya. Alasannya sih kalo cewek bersuami itu nggak bakal nuntut banyak, nggak minta dinikahi. Yang disayangkan, dia benar-benar nggak mengenal siapa suami dari selingkuhannya itu.
Menurut cerita temen saya sih, cowok yang jadi suami si Mawar itu badannya tambun dan bukan tipikal cowok keren. “Gue nggak ngerti kenapa si Mawar bisa mau sama dia? Mungkin panjang penisnya 17 inci kali,” selorohnya. “Eh, tapi punya gue 2 inci lebih panjang lho!” Tambah dia lagi seolah nggak mau kalah dalam urusan panjang-panjangan.
Entah karena penisnya yang memang 2 inci lebih panjang dari suaminya Mawar apa nggak, yang jelas, mungkin modal tampang yang mirip-mirip boyband tahun 90-an jadi modal bagi temen saya buat menggoda istri orang. Bisa ditebak, dengan rayuan maut plus tampang kerennya, udah pasti Mawar lama2 berpikir, “Wah boleh juga nih”, nggak pakai pikir-pikir lagi resikonya.
Tanpa saya tahu seberapa jauh hubungan terlarang di antara keduanya, yang jelas, temen saya itu jadi susah saya hubungi. Sama halnya kalo saya susah dihubungi oleh teman saya. Bedanya, saya berkelit pada urusan kerja, sedangkan temen saya lebih kepada “gue lagi sibuk” tanpa penjelasan apa-apa. Mirip kucing piaraan yang lagi datang musim kawin, jarang pulang ke rumah.
Hingga peristiwa buruk menimpanya, sebenarnya saya udah capek nasehatin dia. Sebagai temen, rasa-rasanya sariawan saya lebih diakibatkan kepada nasihatin dia dibandingin kurang vitamin C atau terkena panas dalam. Saya udah pernah bilang ke dia buat cari cewek jomblo yang siap dipacarin.
Tapi dengan filosofi ngawur versi sendiri, dia malah bilang cewek bersuami itu lebih sedap dibandingkan cewek single. Entah apa maksud “sedap” yang pasti urusannya udah gawat. Apalagi ada tambahan: “selain jago mengulek sambel, para ibu muda itu pasti suka diulek. Apalagi kalo diulek dengan cobek yang beda dari yang ada di rumah.” Damn…tiba-tiba rasanya saya pengen jitak kepala dia pakai cobek beneran.
Sayangnya, penyesalan memang selalu datangnya duluan daripada pendaftaran yang selalu duluan. Nggak disangka-sangka, motor yang ditunggangi teman saya ditendang oleh orang nggak dikenal. Terjatuh? Udah pasti. Tapi lebih ngeri lagi, belum sempat bangkit dari tanah karena terjatuh, perut dia langsung disabet samurai.
“Kapok deh gue,” begitu kata yang keluar dari mulut teman saya mengenai peristiwa yang mengerikan itu. Saya bersyukur akhirnya temen saya menyadari kesalahannya. Tapi rupanya saya harus menarik ucapan syukur saya tersebut. Karena nggak lama setelah jahitan luka dibuka, dia memberitahu saya sebuah berita “gembira”.
“Gue lagi pedekate sama salah satu suster di sini. Orangnya cakep banget. Gue suka sama dia.” Tetapi sama seperti Mawar, ternyata suster itu udah bersuami. Sepertinya, teman mulai menggali lubang kuburnya sendiri. Ngeselin!