Korban Mode, Nihilisme di Balik Tren Keffiyeh

Sekitar setahun lalu, saya pernah melihat sebuah peliputan berita TV sebuah pentas band punk rock di Amerika Serikat dan daratan Eropa. Sebenarnya bukan pementasan band itu yang membuat saya terkesima. Melainkan isi berita itu yang melaporkan atribut punk terbaru. 

foto: net
Bahkan Collin Farrel Menggunakan Keffiyeh (foto: net)

Jika sebelumnya tampilan punker identik dengan jaket kulit, boots, baggy trouser, dan bretel. Namun waktu itu diberitakan, para punker juga membalut leher mereka dengan keffiyeh—sejenis kain sorban yang biasa dikenakan orang di Timur Tengah—selain mengenakan atributnya. Alasan mereka menggunaakan kifayeh adalah untuk mempertegas nilai pemberontakan yang selama ini dianutnya.

Sebenarnya, keffiyeh merupakan bagian dari pakaian tradisional di Timur Tengah atau negeri yang memiliki tanah tandus dan berpasir.  Namun, seiring waktu keffiyeh identik dengan para pejuang Intifada yang memerangi penjajahan Israel di Palestina.

Inilah pula yang menjadi salah satu alasan banyak band-band punk rock dan underground yang mengenakannya. Mereka menganggap Intifada adalah sekumpulan pejuang revolusi, seperti halnya mereka para punker sejati yang kerap meneriakan revolusi dan menentang rezim kapitalisme dan liberalisme yang menjajah.

Meski berjuang di tujuan yang berbeda, para punker merasa satu nasib dengan Intifada. Uniknya, mereka yang merasa ‘seperjuangan’ dengan Intifada adalah pemeluk agama kristen dan tidak sedikit yang atheis, meskipun sebenarnya keffiyeh juga digunakan oleh orang Yahudi.

Dengan alasan yang menurut saya sangat ‘suci’ tersebut, tak ada salahnya keffiyeh menjadi atribut para punker. Sayangnya, para pemerhati fashion tampaknya juga jeli melihat peluang di dalamnya. Dengan alasan modis dan trendy, maka sebuah rumah mode di Amerika memproduksi berbagai corak dan warna keffiyeh dengan tujuan komersil.

Ternyata penjualan keffiyeh sangat laris dan bahkan sempat merisaukan beberapa pemegang kepentingan yang menganggap benda ini akan melahirkan sebuah sentimen terhadap pemerintahan Amerika yang notabene adalah penjajah bangsa lain. Maka setelah itu dilakukan penarikan besar-besaran dan penghentian produksinya.

Beberapa waktu belakangan, saya kembali dicengangkan oleh pemberitaan keffiyeh. Kali ini di dalam negeri. Beberapa majalah gaul, televisi, dan radio sibuk ‘mempeributkan’ keffiyeh sebagai aksesoris fashion terkini dan tentu saja tergaul. Menonton sebuah acara infotainment dan variety show di TV, hampir tak ada pengisi acaranya yang tampil tanpa keffiyeh. Yang sedikit merisaukan, penggunaan keffiyeh juga merambah para penggila clubbing dan pejelajah mal.

Saya sempat menonton sebuah peliputan klub malam tergaul di Jakarta yang menyajikan sexy dancer bergoyang erotis di atas meja bar. Goyangan cewek-cewek liar ini disambut histeria dan birahi para cowok yang asyik bergoyang sambil menunjukkan tampang mereka yang penuh birahi. Ironisnya, cowok-cowok itu kebanyakan menggunakan keffiyeh.

Apakah popularitas keffiyeh di Indonesia dikarenakan negara ini sebagai negara pemeluk agama Islam terbesar di dunia dan mencerminkan semangat keislaman? Nggak juga. Lihat aja mesjid yang hanya ramai pada waktu sholat jumat saja. Maraknya anak muda negara ini yang mengenakan keffiyeh bukan mencerminkan semangat keislaman, apalagi perjuangan. Keffiyeh hanya mencerminkan sebuah ikon fashion terbaru. Tidak lebih.

Kenapa saya lebih merisaukan penggunaan keffiyeh di negeri sendiri bukan para punker di barat sana? Indonesia kan negara dengan populasi muslim terbanyak? Seperti yang saya tulis di atas, kebanyakan punker barat menggunakannya  karena ada nilai yang diperjuangkan, sekalipun mereka bukan muslim. Jadi penggunaan keffiyeh sebagai cerminan apa yang mereka perjuangkan, karena identik dengan kostum para pejuang di Timur Tengah sana. Sementara di Indonesia? Keffiyeh hanya tren belaka.

Sungguh menyakitkan jika melihat kifayeh membalut leher para begundal-begundal hedonis yang hanya mengedepankan nihilisme. Apa yang mereka lakukan hanya apa yang bisa menyenangkan ego mereka. Termasuk menggunakan kifayeh supaya dibilang keren.

Melihat fenomena seperti ini, membuat saya urung untuk ikutan menggunakan keffiyeh yang merupakan oleh-oleh pergi haji ayah saya yang selama lebih dari 15 tahun hanya tersimpan rapih di lemari pakaian. Saya memang orang yang terlambat tahu bahwa keffiyeh menjadi ikon fashion paling gaul sekarang ini. Tapi pepatah terlambat lebih baik dari pada tidak sama sekali tampaknya berlaku dalam kasus ini.

Memang sih, nggak ada bukti otektik kalo keffiyeh bagian dari beribadah. Tapi saya merasa belum pantas menggunakannya karena belum berbuat banyak agama yang saya anut: Islam. Tadinya, saya ingin menggunakan keffiyeh untuk memperkaya nilai yang saya yakini seperti halnya para punker tersebut. Tapi, mengingat keffiyeh di Indonesia hanya sekedar fashion semata dan tidak bernilai apa-apa, ya lebih baik nggak usah dikenakan sama sekali. Apalagi kadung jadi semacam bagian dari perangkat hedonis. Saya sih lebih memilih jadi penjahat fashion….

2 Replies to “Korban Mode, Nihilisme di Balik Tren Keffiyeh”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *