Benarkah Sabar Bisa Jadi Solusi Semua Permasalahan?

foto: ccharrow.org
foto: ccharrow.org

“Orang sabar disayang Tuhan”. Sepertinya kata-kata bijak ini merupakan salah satu kutipan yang paling populer bagi seluruh umat manusia selain “Hemat Pangkal Kaya” atau “Kebersihan itu sebagian dari Iman”. Saya sebagai manusia tentu sangat percaya dan yakin kalo Yang Maha Kuasa itu gak bakal melupakan kaum yang sabar. Udah banyak cerita sampai ke telinga saya mengenai orang yang ‘dibesarkan’ dari rasa sabarnya.

Setiap hari, entah di koran, radio, buku, atau tivi, dipublikasikan sedemikian rupa bagaimana kesabaran itu sebagai salah satu kunci sukses seseorang dalam mengarungi kehidupan. Sinetron kita yang terkenal kacangan aja selalu menempatkan orang yang sabar sebagai objek hiburan yang menjual (bukan mendidik), di mana tokoh protagonisnya selalu bersabar sekalipun dianiaya sedemikian rupanya. Sehingga digambarkan, orang sabar itu melulu tertampil sebagai sosok yg tidak berdaya, lemah, dan cenderung penakut.

Menurut saya, udah saatnya orang sekarang ini mengkaji ulang apa itu sabar dan sampai di mana batasnya. Dalam menghadapi ujian Tuhan, sabar itu seharusnya merupakan reaksi pertama begitu kita mendapatkan cobaan bukan mendominasi sikap kita. Jadi, selain ‘dilapisi’ rasa sabar manusia harus bertindak dan mencari jawaban siapa yang paling dan patut disalahkan atas terjadinya cobaan tersebut yang tentunya bukan berarti kita harus menggugat Tuhan. Jangan lupa menyalahkan orang lain tidak bersalah.

Misalnya, jika seorang anak yang menjadi yatim karena ayahnya telah dibunuh oleh orang yang dikenalnya, apakah dia harus bersabar dan berharap mata hati si pembunuh akan terbuka dan mengakui kesalahannya? Idealnya, si anak harus berupaya menggiring si pelaku ke meja peradilan, baik itu bekerja sama dengan polisi atau dengan tangan sendiri.

Sama halnya jika seorang siswa tidak lulus ujian, apakah dengan bersabar cukup menggiringnya lulus di ujian mendatang? Sama sekali tidak. Dia akan lulus ujian kalo berupaya sebaik mungkin dengan persiapan dan ‘amunisi’ yang memadai di ujian selanjutnya. Jadi, sabar bukan berarti menyerah. Mungkin, jika jalan keluar yang diharapkan menjadi buntu, barulah kita menyerahkan atau bertawakal kepada Allah. Ini pun tidak berhenti untuk berusaha, berusaha, dan berusaha.

Sayangnya, kalo saya lihat sih kebanyakan masyarakat kita masih menempatkan rasa sabar sebagai solusi. Nggak salah deh, kita selalu dibodohi pemerintah yang selalu menyuruh kita untuk bersabar ketika menghadapi kenaikan harga, peraturan yang hanya menyenangkan beberapa golongan, dan beberapa kebijakan ‘jahat’ lainnya. Masih ingat salah satu iklan layanan masyarakat yang cukup populer pasca kenaikan BBM beberapa waktu lalu? Ya, dimana salah satu kyai kondang berlogat sunda dan pernah poligami ini ‘dipasang’ sebagai bintang iklan yang menyerukan masyarakat untuk sabar dan tawakal menghadapi kenaikan BBM yang diberlakukan pemerintah.

Ironis memang. Seharusnya, di iklan tersebut, si AA meminta pemerintah memperhatikan nasib rakyat kecil yang terkena imbas dari kenaikan BBM tersebut dan menolak BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebagai subsidi bagi mereka karena udah dipastikan bakal tidak tepat sasaran dan rentan dengan kecurangan. Bukan malah nyuruh2 orang untuk bersabar. Intinya, kenaikan BBM harus ditolak.

Dus, benar saja kan. Nggak lama setelah iklan itu beredar, masyarakat garis keras menanggapinya dengan dingin dan mengganggap si AA itu tidak mewakili suara umat. Tapi lagi-lagi, si AA malah tetap bersiteguh bahwa di kondisi sekarang masyarakat kita harus bersabar. Entah ke arah mana konotasi sabar yang dilontakan AA, yang jelas ini sama saja pembodohan.

Nah, begitu pun peristiwa yang baru-baru ini menimpa saudara-saudara kita yang tengah menjalankan ibadah haji, di mana mereka dilanda kelaparan karena pasokan makanan tidak sampai kepada mereka hingga berhari-hari. Lagi-lagi, kesabaran adalah sesuatu yang diminta kepada pemerintah oleh mereka. Kedatangan Menteri Agama sama sekali tidak membantu karena cuma ‘membujuk’ mereka untuk selalu bersabar terhadap ‘cobaan’ tersebut. Coba, dipikir-pikir, apakah kita harus bersabar terus, sementara kinerja pelayanan haji bangsa ini terkenal sangat amburadul dan tidak pernah belajar dari kejelekan pelayanan haji pada sebelumnya?

Jadi, kita selama ini dibodohi untuk selalu bersabar, sementara mereka para pembuat kebijakan tidak melakukan perbaikan dan pembenahan. Sama halnya ketika beberapa ‘pahlawan devisa’ mengutarakan unek-uneknya kepada lembaga terkait mengenai beberapa pungli dan intimidasi yg dihadapi mulai dari keberangkatan hingga sampai lagi ke tanah air, cuma wejangan “harap sabar” yang diperoleh mereka. Pemerintah sepertinya sangat lihai mempropagandakan rasa sabar sebagai solusi terhadap mereka kaum kecil yang terbiasa hidup apa adanya dan selalu menerima cobaan ini.

Yang paling gress adalah mengenai banjir. Saya paling kesel sama pendapat beberapa orang yang menganggap banjir adalah siklus tahunan dan merupakan bencana yang wajar. Busyet deh, sabar apa bego ya masyarakat kita ini? Dikasih bencana kok mahfum sih? Mustinya, kita harus menggugat pemerintah terkait penanganan banjir yang nggak pernah beres meskipun beberapa rezim telah berganti. Gobloknya, pemerintah kita kalo udah kejadian, baru deh ribut-ribut cari solusi.

Nah, memangnya pas musim kemarau pada kemana aja? Molor apa sibuk latah bikin video porno buat disebar? Saya sih nggak rela kalo musibah banjir dianggap kewajaran. Mungkin mereka para pembuat kebijakan nggak ngerti rasanya  mengungsi dan berhari-hari rumah terendam banjir. Sementara saya, rakyat kecil, sangat menderita dengan adanya bencana tersebut. Hal ini tentunya dirasakan oleh kebanyakan masyarakat kita yang jadi korban.

Dengan adanya kenyataan tersebut, sepertinya bangsa ini harus melenyapkan stigma sabar sebagai solusi. Karena sekarang ini sabar tidak sekedar disayang Tuhan, tetapi juga ‘disayang’ pemerintah. Ibaratnya, bangsa yg sabar bakal dijajah pemimpinnya sendiri. Masih mau terus bersabar? No way! Mari satukan kepalan gugat pemerintah agar melakukan perbaikan-perbaikan! Karena gaji mereka berasal dari pajak yang kita bayar!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *