Sebagai moda transportasi ibukota, yang namanya Kopaja (saudara Metromini) memang dianggap bukan angkutan yang ramah sama penumpang. Tapi, berhubung lokasi kantor pindah ke dekat rumah dan bisa dijangkau dengan angkutan ini, kenapa nggak dicoba?
Well, mulailah Rabu (22/7/2015) lalu saya kembali ber-Kopaja ria. Tepatnya angkutan P12 jurusan Senen-Grogol. Nah, berhubung itu adalah hari pertama kerja bagi sebagian orang pasca liburan Lebaran, jalanan tergolong sepi sekalipun penumpang Kopaja yang saya tumpangi terbilang penuh.
Entah karena kondekturnya masih mudik atau memang lagi malas kerja, jadi seminggu belakangan ini saya harus membayar tarif langsung ke sopirnya. Jadi, kalo posisi saya berada di belakang, mau nggak mau saya harus menuju ke depan untuk membayar dan tentunya siap-siap berdesakan dengan penumpang lain. Ajaibnya, semua orang mengikuti prosedur itu, nggak ada yang nyelonong langsung kabur alias nggak bayar. Padahal, kalo mau dilakukan sih bisa-bisa aja tuh. Semoga semua warga Jakarta sejujur itu ya.
Kembali ber-Kopaja bukan berarti saya harus siap-siap berdesak-desakan dan keringetan, tapi juga membuat ingatan saya kembali ke masa-masa kuliah di mana moda transportasi ini selalu menjadi pilihan ketika saya berangkat ke kampus. Dulu sih tarifnya masih Rp 500 perak, terus naik jadi Rp 700 perak.
Asal tahu aja, Kopaja P12 terbilang salah satu angkutan paling rawan pada masanya. Sepanjang saya kuliah dan menumpanginya, selalu aja ada aksi pembajakan, perampokan, pencopetan, hingga pejambretan, terutama di depan atau seberang sekitar Roxy Mas. Katanya sih para pelaku itu kebanyakan anak muda sekitar situ.
Pernah lho, suatu malam Kopaja itu dibajak 6 orang bersenjata clurit. Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat para pelaku memaksa minta barang penumpang. Jujur, saya sendiri dulu tidak bisa apa-apa. Hanya berdiam diri dan berharap jangan jadi korban keberingasan mereka. Sempet-sempetnya di saat itu pula saya membatin, “Kalo banyak orang yang lebih tegap dan lebih gagah dari gue tapi diam saja, kenapa gue harus melawan?” Tapi Alhamdulillah, sepanjang saya menggunakan transportasi itu, saya tidak pernah jadi korban, baik itu dicuri maupun dirampas.
Pernah suatu waktu, kepala saya ditoyor karena nggak mau memberikan tas yang saya bawa. Entahlah, mungkin karena badan saya waktu itu kurus seperti pengguna narkoba, jadinya dianggap “sebangsa mereka” dan dilewati begitu saja.
Tapi, ketika saya memulai karir sebagai wartawan kriminal dari situ keberanian saya muncul. Saya berpikir, udah saatnya orang-orang seperti ini diberantas. Kemungkinan keberanian ini muncul karena kebanyakan meliput kejadian kriminal membuat saya seperti kehilangan rasa takut terhadap aksi kriminal atau memang waktu itu saya aktif di ilmu bela diri Merpati Putih.
Jadi, waktu itu kebetulan saya mau berangkat ke daerah Grogol karena mau menuju ke Polsek Cengkareng. Di dalam Kopaja yang ditumpangi, saya melihat seorang cowok berdiri di kursi penumpang yang diduduki seorang cewek. Saya curiga, padahal banyak kursi kosong, tapi kenapa cowok itu malah berdiri di dekat cewek itu.
Dussss!!! Tiba-tiba saja dia menjambret kalung milik cewek itu dan lari ke pintu belakang di mana kebetulan saya duduk di dekatnya. Secara refleks saya langsung memegang kaos yang dia pakai. Entah karena dia larinya terlalu kencang atau bahannya tipis, kaos itu langsung robek di tangan saya. Si pejambret itu sempat terjatuh. Sayangnya, Kopaja terus berjalan dan saya cuma bisa melihat si pelaku berlari ke arah perkampungan pinggir kali Tomang tanpa pakaian.
Anehnya, si cewek yang jadi korban itu ketika saya bujuk untuk bikin laporan ke polisi malah nggak mau. Kayaknya dia udah pasrah gitu atau bisa jadi malas berurusan sama birokrasi kepolisian yang memang ribet (tau sendiri kan?). “Emasnya murah kok Mas. Lagian, saya mau buru-buru kuliah. Lagi ada kuis,” elaknnya.
Nggak cuma rawan aksi kejahatan, kelakuan supir Kopaja yang ugal-ugalan juga nyaris membuat nyawa seluruh penumpangnya hilang. Jadi, di saat kemacetan total di sekitar rel kereta Roxy, si supir tetap aja tancap gas. Padahal, lampu peringatan kereta mau lewat sudah bunyi dan palang pintu rel juga udah mulai turun.
Benar aja, begitu berada di tengah rel, tiba-tiba mesin Kopaja itu mati. Bisa ditebak, para penumpang berebutan keluar. Si supir justru masih maksa menghidupkan mesin. Di tengah suasana kalut itu, saya langsung menerobos keluar lewat jendela. Untungnya, begitu kereta mendekat, tiba-tiba angkutan itu malah hidup.
Jujur, sejak kejadian itu, saya selalu mengambil posisi duduk di dekat pintu belakang. Memang panas sih, tapi akses keluar lebih gampang jika sewaktu-waktu hal mengerikan itu terjadi lagi.
Nah, yang terjadi sekarang sih cukup mengejutkan. Ternyata Kopaja sekarang tidak seseram dulu. Setidaknya pengalaman saya beberapa hari belakangan. Supirnya tidak seugal-ugalan Metromini P70 jurusan Blok M-Joglo. Terus juga penumpangnya tidak seramai dulu, mungkin karena trayeknya bersaing dengan busway.
Ya, memang sih dari segi kenyamanan dan keamanan Kopaja itu belum dalam taraf memadai. Tapi dibandingkan harus ke kantor menggunakan mobil atau motor, saya lebih suka naik Kopaja. Di samping tingkat stres berkurang kalo terjebak di kemacetan, dari sisi pengeluaran biaya juga lebih murah. Satu lagi, hitung-hitung membantu mengurangi pembuangan emisi gas beracun dari kendaraan pribadi.