Copywriting vs Jurnalism, Mana yang Lebih Mengasyikan?

writing1

Sebagai orang yang hanya mengandalkan kemampuan mengasah aksara, bidang tulis-menulis sudah tentu menjadi pijakan karir dalam hidup saya. Itulah sebabnya begitu lulus kuliah saya memantapkan diri di dunia jurnalistik sebagai wartawan desk kriminal di sebuah surat kabar lima besar di Jakarta. Setelah itu saya migrasi ke sebuah majalah bulanan yang concern dengan perkembangan dan implementasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di masyarakat dan pemerintahan (e-government).

Dua tahun berselang, saya kemudian menerima tawaran dari seorang kenalan untuk bekerja sebagai redaktur pelaksana media in-house salah satu instansi pemerintah. Itu juga tidak lama, hanya sekitar satu tahun saja.Bergulat di dunia jurnalitik sekian tahun ternyata belum cukup memuaskan saya yang memang suka dengan tantangan baru. Demi mengejar tantangan baru ini, akhirnya bekerja sebagai copywriter di sebuah communication agency, namun tetap jadi kontributor beberapa artikel di media tempat saya bekerja sebelumnya.

Tadinya saya pikir copywriting tidak seruwet jurnalistik yang aktivitasnya kebanyakan di lapangan atau luar kantor. Rupanya dugaan saya salah. Meskipun 80% aktivitas saya berada di dalam kantor—keluar kantor hanya untuk meeting dengan klien—ternyata copywriting benar-benar menguras tenaga dan khususnya pikiran.

Berbeda dengan jurnalistik yang selalu mengedepankan objektivitas, aktualitas, dan kedalaman isi berita,copywriting harus benar-benar mempertimbangkan kemauan klien. Meskipun dari sisi karakter tulisan lebih sedikit, tetapi copywriting benar-benar memusingkan.

Katanya sih, jika jurnalistik mengandalkan kuantitas tulisan, copywriting menyender pada kualitas. Nah, barometer ‘kualitas’ ini berada di keputusan klien. Diistilahkan, isi kepala saya harus benar-benar sama dengan klien jika mau tulisan saya dibilang ‘berkualitas’.

Di bidang ini saya harus bisa mengiyakan sesuatu yang buruk dari klien, sementara saya harus rela sesuatu yangbagus menurut saya ‘diberangus’ oleh kemauan klien karena dibilang jelek. Terkadang saya juga dipusingkan oleh salah satu klien rewel. Setiap waktu saya harus sigap dengan pikiran dan konsep klien yang berubah-ubah.

Sekalipun saya sering menelan ludah, menghujat dalam hati sambil mengusap-usap dada sendiri, inilah konsekuensi yang harus saya terima. Saya bekerja untuk klien dan sebisa mungkin harus memberikan service terbaik bagi mereka. Idealisme serasa fatamorgana saja.

Terkadang ada semacam perasaan rindu akan ‘bau’ lapangan dan medan peliputan. Terutama kerinduan dengan teman-teman wartawan yang selalu mengiringi saya di desk yang sama. Ketika ada suatu keputusan kontroversi pemerintah terkait dengan TIK, naluri kewartawanan saya bangkit. Gregetan rasanya ketika pemerintah memblokir beberapa situs pasca rilis UU ITE, tapi saya tidak bisa ‘berbuat’ apa-apa.

Bekerja di balik meja lebih dari 10  jam sebagai copywriter rasanya benar-benar siksaan tersendiri. Saya seperti terisolasi dari dunia luar. Ketika kepuasan pelanggan adalah tujuan utama, maka nyawa saya seperti tidak ada harganya. Pekerjaan ini tidak buruk, tapi memang tidak tepat buat saya. Jadi tak lama kemudian, saya akhirnya memutuskan resign dan kembali meneruskan ambisi saya di dunia jurnalistik.

Meskipun begitu, pengalaman yang saya dapatkan sebagai copywriting setidaknya menjadi wawasan terbaru bagi saya, terutama mengenai pekerjaan yang berbasis kebutuhan klien atau pelanggan. Dari sini, saya punya amunisi untuk pekerjaan yang sedikit memangkas idealisme saya, seperti advertorial, costumized magazine, hingga company profile. Sungguh sebuah pengalaman yang tidak sia-sia.

*Disadur dari Planetmiring.com (25/4/2008), ketika gairah saya menjadi pembuat berita begitu besar dan tidak logis hehehe…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *